KONTEKS.CO.ID – Wakil Presiden RI ke-10 dan 12, Jusuf Kalla (JK) ikut merespons soal film dokumenter Dirty Vote.
Bahkan, JK menantang Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang menyebut film dokumenter Dirty Vote sebagai fitnah.
JK meminta pihak yang menyebut film dokumenter Dirty Vote sebagai fitnah menunjukkan data tandingan.
Menurut JK, semua informasi dalam film tersebut berdasarkan data.
“Semua orang bisa mengatakan fitnah. Tunjukkan di mana fitnahnya, karena semua data dulu, baru komentar kan,” ujar JK di kediamannya, Senin 12 Februari 2024.
Dia pun lantas mengingatkan semua pihak agar tidak terburu-buru berkomentar sebelum membuktikan hal sebaliknya.
Kata JK, dalam film Dirty Vote semua berdasarkan data secara kronologis, mulai dari tempat, hingga waktu kejadian.
“Semua lengkap. Jadi ini juga memberikan, boleh saja, tapi fitnahnya yang mana. Karena semua data,” katanya.
TKN Prabowo-Gibran Sebut Fitnah
Sebelumnya, Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran Habiburokhman menyebut, Dokumenter Dirty Vote merupakan film berisi fitnah.
Habiburokhman mempertanyakan kebenaran pakar-pakar hukum yang hadir di film itu.
“Sebagian besar yang disampaikan dalam film tersebut adalah sesuatu yang bernada fitnah. Narasi kebencian yang sangat asumtif dan sangat tidak ilmiah,” katanya kepada wartawan di Media Center Prabowo-Gibran, Minggu 11 Februari 2024.
Menurut Habiburokhman, Film Dirty Vote sengaja dibuat untuk mendegradasi penyelenggaraan Pemilu 2024.
Dia pun menilai, tuduhan-tuduhan dalam film tersebut tak berdasar.
Tiga Ahli Hukum Tata Negara Bahas Kecurangan
Sekadar informasi, Film Dokumenter Dirty Vote berisi tiga ahli hukum tata negara yang menjelaskan bagaimana kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Film Dirty Vote telah tayang hari ini, pada Minggu, 11 Februari 2024, sejak pukul 11.00 WIB.
Tiga tokoh dalam film ini adalah Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.
Ketiganya mengungkap berbagai instrumen kekuasaan telah digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu dan merusak tatanan demokrasi.
Penggunaan infrastruktur kekuasaan yang kuat, tanpa malu-malu dipertontonkan secara telanjang demi mempertahankan status quo.
Bentuk-bentuk kecurangannya terurai dengan analisa hukum tata negara. Sutradara film ini adalah Dandhy Laksono.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"