KONTEKS.CO.ID – Teknologi sistem peringatan dini gempa bumi dan tsunami ternyata masih harus dilengkapi dengan kearifan lokal. Keduanya bisa saling melengkapi guna mewujudkan zero victim.
Menurut Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam Dialog Mitra yang diselenggarakan BMKG dalam rangka memperingati World Tsunami Awareness Day, dengan tema “Melawan Kesenjangan, Menata Ketangguhan Mitigasi Gempabumi dan Tsunami Masa Depan” bahwa teknologi tidak selalu bisa bisa diandalkan dalam situasi darurat.
Para pakar dan akademisi yang hadir, seperti Jan Sopaheluwekan dari Universitas Indonesia, Andi Eka Sakya dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, Harkunti Pertiwi dari ITB, Hamzah Latief dari ITB, Eko Teguh dari UPN Veteran Yogyakarta, sepakat untuk tetap dilakukan modernisasi alat, dan tetap menjaga kearifan lokal.
“Perpaduan antara modernisasi alat dan teknologi dan kearifan lokal dapat menjadi langkah efektif untuk meminimalisir dampak bencana yang terjadi di Indonesia. Indonesia memiliki banyak sekali pengetahuan lokal yang diwariskan secara turun temurun lintas generasi,” kata Dwikorita dalam keterangan resmi pada Sabtu, 4 November 2023.
Dwikorita mencontohkan saat negara Jepang diguncang gempa bumi dan tsunami Maret 2011 silam. Meskipun Jepang memilki sistem peringatan dini yang canggih, namun jumlah korban meninggal lebih dari 18.000 jiwa. Realitas tersebut menunjukkan bahwa teknologi tidak dapat menjamin keandalan sebuah sistem peringatan dini.
Karena itu perlu terus didorong pelestarian kearifan lokal masyarakat mengenai bencana alam. Indonesia memilki banyak sekali khasanah pengetahuan lokal mengenai bencana alam.
Mulai dari Smong di Pulau Simeulue Aceh, Bomba Talu di Palu, Caah Laut di Lebak, dan lain sebagainya. Smong di Aceh bahkan telah terbukti mampu menyelamatkan banyak nyawa saat gempa bumi dan tsunami menghantam pesisir Aceh 2004.
“Fenomena alam sangat rumit. Tidak jarang akibat bencana alam, teknologi tersebut error atau tidak dapat berfungsi akibat kendala-kendala di lapangan. Disinilah kearifan lokal mampu menunjukan keandalan dan perannya dalam meminimalisasi risiko akibat bencana tersebut,” ujarnya.
“Sistem peringatan dini gempabumi dan tsunami antara negara Jepang dan Indonesia sendiri hanya terpaut 0,5 menit – 2 menit. Meski demikian Indonesia terus berupaya mengejar ketertinggalan dengan membenamkan teknologi-teknologi baru dan terus mendorong penguatan kearifan lokal masyarakat,” katanya lagi.
Dalam kesempatan tersebut, Dwikorita juga menyinggung keberlanjutan upaya mitigasi dan penanggulangan bencana yang kerap terputus akibat pergantian kepemimpinan di daerah. Diharapkan strategi dan upaya yang telah dirumuskan dan dilaksanakan bisa terus berkelanjutan meski terjadi pergantian kepala daerah. Dengan begitu, segala sesuatunya tidak kembali dimulai dari nol.
Selain itu, penting juga adanya kolaborasi pentahelix antara Pemerintah, Akdemisi/Ilmuwan, Pihak Swasta, Masyarakat dan Media untuk mewujudkan zero victim. BMKG tidak bisa berjalan sendiri dalam menjaga seluruh wilayah Indonesia. Dibutuhkan peran aktif dari berbagai pihak dalam mewujudkan kesiap-siagaan masyarakat untuk menghadapi bencana.
“Literasi kebencanaan masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Karenanya saya berharap selain akademisi atau kalangan perguruan tinggi, rekan-rekan media juga dapat membantu pemerintah dalam mengedukasi dan meningkatkan literasi bencana masyarakat,” pungkasnya.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"