KONTEKS.CO.ID – Tokoh G30S PKI Letkol Untung Syamsuri adalah pelaku kunci dalam peristiwa G30S PKI. Nasib perwira berprestasi ini berakhir tragis karena kudeta tersebut gagal. Jelang eksekusi mati, Letkol Untung yakin Soeharto akan menyelamatkannya.
Untung Syamsuri lahir pada 3 Juli 1926 di Kedung Bajul, Bojongsari, Kabupaten Kebumen, Kecamatan Alian, Jawa Tengah. Nama kecilnya adalah Kusman.
Ayahnya bernama Abdullah yang bekerja di sebuah toko peralatan batik di Pasar Kliwon Solo, Jawa Tengah. Kemudian ayah ibunya bercerai. Sang paman yang bernama Syamsuri mengangkatnya sebagai anak pada 1927.
Paman Syamsuri mengajaknya pindah ke Desa Jayengan, Solo. Hidupnya membaik. Dia gemar bermain sepak bola saat SD di Ketelan. Kusman pun masuk tim KVC (Kaparen Voetball Club) di desanya.
Lulus SD, Kusman melanjutkan ke sekolah dagang. Namun tak sampai lulus, karena Jepang keburu datang, menjajah Indonesia. Dia pun terpaksa bergabung dengan militer, Heiho.
Letkol Untung Syamsuri Lulusan Terbaik Akmil
Semasa perang kemerdekaan, Kusman bergabung dengan Batalyon Sudigdo di Wonogiri, Jawa Tengah.
Namun setelah Gubernur Militer Kolonel Gatot Soebroto memerintahkan Batalyon Sudigdo pindah ke Cepogo di lereng Gunung Merbabu, Kusman memilih bergabung dengan teman-temannya di Madiun.
Terjadilah peristiwa pemberontakan PKI di Madiun pada 1948, Kusman pun berganti nama menjadi Untung Sutopo dan masuk TNI melalui Akademi Militer di Semarang.
Karena berprestasi, Untung menjadi salah satu lulusan terbaik Akademi Militer. Dia bersaing dengan Benny Moerdani, perwira muda di lingkup RPKAD.
Untung kemudian menjadi Komandan Batalyon 454/Banteng Raiders yang berbasis di Srondol, Semarang.
Batalyon ini menjadi legenda karena memiliki kualitasnya setara dengan Yonif Linud 330/Kujang dan Yonif Linud 328/Kujang II.
Persahabatan Letkol Untung Syamsuri dengan Soeharto
Letkol Untung Syamsuri mengenal Soeharto sejak operasi pembebasan Irian Barat. Dalam Operasi Irian Barat, Untung memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara Kaimana.
Untung menjadi anak buah Panglima Mandala Soeharto di markas besarnya di Sulawesi dengan pangkat Panglima Komando Mandala.
Peneliti Amerika Serikat Victor M Fic dalam bukunya “KUDETA 1 OKTOBER 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi” terbitan Yayasan Obor Indonesia 2005, menceritakan tentang bagaimana kedekatan para konspirator G30S PKI dengan Soeharto. Salah satunya adalah Letkol Untung.
“Meski bukan simpatisan PKI, secara pribadi Soeharto kenal dekat dengan para pemimpin G30S PKI sejak dia melakukan negosiasi dengan Musso, Wikana, dan lain-lainnya dalam rangka menumpas pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 atas nama pemerintahan Presiden Soekarno.” tulis Victor M Fic.
Perhatian Soeharto
Hubungan dekat Untung Syamsuri dan Soeharto juga terlihat jelas. Karier militer kedua tokoh ini bahkan saling beriringan.
“Kedekatan hubungan dua orang itu mendapat bukti paling akurat dari fakta bahwa pada akhir bulan April 1964, Soeharto pergi meninggalkan Jakarta menuju Kebumen di Jawa Tengah, untuk menghadiri resepsi pernikahan Untung,” ungkap Victor.
Setahun setelah pulang dari Irian Barat, Untung menikah dengan Hartati, warga Bojongsari di Kebumen pada 1964. Acaranya meriah. Soeharto ikut hadir bersama Tien, istrinya. Namun saat itu tak banyak warga yang hadir.
Soeharto datang dengan mengemudikan sendiri mobil jeep dinasnya. Kenyataan itu bagi Soebandrio mengundang pertanyaan tersendiri.
Langkah Soeharto mendekati Untung ini terbaca di kalangan elite politik dan militer saat itu, “Tetapi mereka hanya sekadar heran pada perhatian Soeharto terhadap Untung yang begitu besar,” kata Soebandrio dalam buku tersebut.
Soeharto, dalam biografi ‘Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia’s Second President‘, mengaku mengenal Untung sejak 1945. Namun dia tak pernah menyinggung ikhwal kehadirannya dalam pernikahan Untung.
“Saya mengenal Untung sejak 1945 dan dia merupakan murid pimpinan PKI, Alimin,” kata Soeharto dalam buku biografi yang ditulis Retnowati Abdulgani Knapp itu.
Sedangkan dalam buku “Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya”, Soeharto menyebut bahwa dia sudah kenal Untung sejak lama.
“Saya mengenal Untung sudah lama dan sejak menjadi komandan resimen 15 di Solo, Untung menjadi salah satu komandan Kompi Batalyon 444,” ujar Soeharto dalam bukunya dalam biografinya itu.
Prajurit Tulen yang Berprestasi
Selama di militer, Untung fokus sebagai prajurit. Mantan Wakil Perdana Menteri Soebandrio menyebut Letkol Untung sebagai sosok prajurit tulen yang tidak tertarik politik.
Soebandrio mengaku sempat berinteraksi dengan Untung Syamsuri saat menjadi sesama tahanan di Cimahi.
“Selama beberapa bulan berkumpul dengan saya di Penjara Cimahi, Bandung, saya tahu persis bahwa Untung tidak menyukai politik. Ia adalah tipe tentara yang loyal kepada atasannya, sebagaimana umumnya sikap prajurit sejati. Kepribadiannya polos dan jujur,” tulis Soebandrio dalam memoarnya.
Untung termasuk prajurit tulen yang berprestasi. Dia mendapat beberapa penghargaan Bintang Sakti selama di militer.
Kala itu, hanya beberapa prajurit saja yang pernah menerima penghargaan Bintang Sakti. Bahkan Soeharto selaku Panglima Mandala saat itu hanya memperoleh Bintang Dharma, setingkat di bawah Bintang Sakti.
Selain Untung, Benny Moerdani juga mendapat medali tersebut. Keduanya tampil luar biasa dalam pembebasan Irian Barat.
Untung juga menjadi prajurit yang hebat di bawah pimpinan Jenderal Ahmad Yani. Dia terlibat operasi penumpasan pemberontakan PRRI atau Permesta di Bukit Gombak, Batusangkar, Sumatera Barat pada 1958.
Terpilih Menjadi Komandan Tjakrabirawa
Pada Februari 1965, Untung pindah dari Divisi Diponegoro di Jawa Tengah ke Jakarta untuk bertugas sebagai pemimpin batalyon Pengawal Presiden Tjakrabirawa atas rekomendasi Soeharto.
Soehartojuga yang merekomendasikan batalyon mana saja yang menjadi pasukan Tjakrabirawa. Dia memilih dua kompi Batalyon Banteng Raiders masuk Tjakrabirawa.
Presiden Soekarno membentuk Pasukan Tjakrabirawa bertepatan dengan hari ulang tahunnya, 6 Juni 1962. Pasukan itu untuk menjaga presiden dan keluarganya.
Dalam biografi Benny Moerdani, tertulis bahwa pada tahun 1965 Soekarno meminta Benny untuk menjadi Komandan Batalyon 1 Resimen Tjakrabirawa menggantikan Letkol Ali Ebram.
Benny, seorang perwira muda dengan latar belakang keluarga terpandang dengan intelektual yang mumpuni ini, dengan segala keberaniannya menyampaikan penolakannya kepada Soekarno.
Awalnya Bung Karno sempat tersinggung tapi akhirnya bisa memahami penjelasan Benny yang tetap ingin menjadi pasukan tempur.
Setelah Benny menolak akhirnya pilihan jatuh kepada Mayor Untung. Walaupun latar belakang keluarganya bukan orang terpandang dan intelektualitasnya biasa-biasa saja tapi sosoknya terkenal sebagai perwira lapangan yang berani dan loyal kepada atasan.
Namun, setelah setahun berada di Tjakrabirawa, pria yang pernah terlibat dalam PKI Madiun ini kemudian menjadi salah satu pentolan gerakan G30S PKI.
Sebagai informasi, semasa perang kemerdekaan Untung pernah bergabung dengan Batalyon Sudigdo yang berada di Wonogiri.
Beberapa literasi menyebutkan bahwa batalyon ini adalah satuan yang ikut PKI (Partai Komunis Indonesia).
Bahkan batalyon ini sempat terlibat dalam gerakan PKI Madiun pada 1948 dengan pimpinan Muso dan Amir Syarifuddin.
Karena itulah, Gubernur Militer Kolonel Gatot Soebroto sempat mencari-cari batalyon ini. Namun, kekacauan yang terjadi antara Indonesia dengan Belanda kala itu membuat pengejaran terhadap batalyon pemberontak ini terhenti.
Sebab itulah yang membuat pasukan batalyon ini bebas berkeliaran termasuk Untung.
Kudeta Prematur G30S PKI
Sebelum peristiwa G30S PKI pecah, Letkol Untung terprovokasi Ketua Biro Khusus PKI, Syam Kamaruzaman.
Sedangkan inisiatif soal gerakan ini sendiri datang dari Ketua Comite Central (CC) PKI, Dipa Nusantara Aidit yang baru pulang dari China pada Agustus 1965. Saat itu Aidit galau karena mengetahui kondisi Soekarno yang sedang sakit-sakitan.
Aidit takut para pimpinan AD akan memanfaatkan situasi ini untuk merebut kekuasaan. Dia pun langsung meminta bantuan Sjam yang juga merupakan tangan kanannya.
Ketua Umum CC PKI itu meminta Syam untuk melakukan gerakan terbatas yang nantinya terkenal sebagai G30S PKI.
Tiga perwira menengah TNI menjadi kandidat utama pelaksana ‘operasi terbatas’ Aidit. Mereka adalah Kolonel Abdul Latief, Letkol Untung, dan Mayor Soejono.
Rapat persiapan berlangsung sampai sepuluh kali. Lokasinya berganti-ganti: rumah Syam, Kolonel Latief, atau kediaman Kapten Wahyudi.
Sasaran operasi terbatas PKI baru ditentukan pada 26 September 1965. Tim pelaksana menentukan ada 10 tokoh antikomunis yang harus “diamankan”.
Selain tujuh nama jenderal TNI Angkatan Darat yang sudah umum diketahui, Sjam mengusulkan penculikan mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta, Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh, dan Jenderal Soekendro. Aidit yang mencoret tiga nama terakhir.
Kendati demikian, kudeta prematur ini gagal dan langsung bisa teredam setelah tujuh orang gugur. Setelah gerakan gagal, Syam kabur ke Jawa Barat.
Letkol Untung Disangka Copet
Karena pemberontakan gagal, Letkol Untung melarikan diri ke Jawa Tengah dengan bus malam. Sesampainya di Tegal, ternyata tentara tengah memeriksa semua angkutan yang lewat untuk mencari para buron pelaku G30S.
Untung Syamsuri yang khawatir identitasnya terbongkar loncat dari bus itu dan kepalanya terbentur tiang telepon. Warga yang melihatnya langsung mengejar karena menyangka dirinya copet.
Warga memukuli sang Komandan Batalyon ini hingga babak belur sebelum mengaraknya ke kantor polisi.
Perwira peraih penghargaan Bintang Sakti dan punya pengalaman tempur yang luar biasa ini tak berdaya di tangan hansip dan warga yang menangkapnya.
Warga tak percaya saat dia mengaku sebagai Komandan Batalyon 1 Tjakrabirawa, pasukan pengawal presiden yang bergengsi.
Sebab perawakan Untung tidak menyakinkan, tubuhnya agak gempal dan pendek tidak menunjukkan dirinya sebagai seorang komandan tentara.
Namun setelah pemeriksaan di markas Polisi Militer Tegal, barulah warga mengetahui bahwa pria yang disangka copet itu benar-benar Letkol Untung.
G30S PKI Sengaja Gagal?
Berbagai teori bermunculan ketika melihat betapa operasi militer dengan koordinasi Letkol Untung ini begitu mudah terpatahkan.
Sepertinya gerakan ini memang terancang untuk gagal dan orang yang merancangnya adalah Ketua Biro Khusus PKI, Syam Kamaruzaman.
Dia adalah kepala badan rahasia semacam intelijen yang keberadaannya seperti hantu. Sjam Kamaruzaman yang seolah-olah memimpin operasi ini.
Sementara Letkol Untung dan wakilnya Brigjen Soepardjo serta Kolonel Abdul Latief (Komandan Garnisun Kodam Jaya) berada di bawah komando Syam.
Hal ini menjadi sesuatu yang aneh ketika seorang sipil memimpin operasi militer seperti ini. Bahkan, tak sampai 24 jam gerakan ini selesai ditumpas Panglima Kostrad Mayjen Soeharto.
Soeharto Berpaling dari Letkol Untung
Dalam buku “Kesaksianku Tentang G30S” karya Soebandrio, Letkol Untung sering mengungkapkan keyakinannya bahwa Soeharto akan menyelamatkannya.
Itu karena Untung merasa sebagai sahabat Soeharto dan ia mengatakan bahwa Soeharto mengetahui rencana G30S PKI.
Saat ditangkap, dia yakin Soeharto bakal membebaskannya. Kala itu Soeharto menjabat Pangkostrad.
Soebandrio menceritakan, selama di penjara, Untung yakin dirinya tidak bakal mendapat hukuman mati. Untung mengklaim Soeharto tahu dengan G30S PKI.
Tetapi nasib Untung berujung buntung. Setelah melalui sidang kilat dalam Mahmilub, Untung yang pendiam itu akhirnya menjalani eksekusi di Lembang pada 1966. Usianya baru 39 tahun. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"