KONTEKS.CO.ID – Dosen Universitas Indonesia Ade Armando, langsung mengeluarkan klarifikasi setelah videonya yang dianggap menyudutkan suporter Arema dalam tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 131 orang pada Sabtu malam, 1 Oktober 2022, viral di media sosial. Dalam video yang diunggah melalui Cokro TV, dia seperti menuding suporter melanggar aturan dalam stadion.
“Video saya mengenai tragedi Kanjuruhan Malang ternyata menimbulkan kontroversi. Berbagai caci maki dan tuduhan dilontarkan pada saya,” kata Ade Armando dalam video klarifikasi yang diunggap di Youtube Cokro TV, Selasa, 4 Oktober 2022.
Menurut Ade Armando, tuduhan itu sebagian disampaikan oleh penonton yang menonton penuh video awal dirinya mengenai tragedi Kanjuruhan, dan sebagian lagi oleh mereka yang menonton cuplikan dan disebarkan melalui pesan group.
“Ada beberapa hal yang harus saya jelaskan. Pertama-tama saya tidak pernah menyalahkan keseluruhan suporter Arema sebagai penyebab tragedi. Pada malam itu ada 42 ribu suporter Arema, hanya sekitar 3.000 yang katanya menyerbu ke lapangan,” ujar Ade Armando.
Menurut Ade Armando, pangkal masalah ada pada 3.000 orang yang melanggar hukum karena masuk ke lapangan. Dan itu artinya hanya sebagian sangat kecil. Dia merasa gara-gara kelakuan sebagian kecil tersebut ada 125 orang suporter Aremania meniggal.
“Doa saya bersama 125 yang tewas. Mereka adalah orang-orang yang memilih tertib berada di tempat duduk setelah pertandingan berakhir,” katanya.
Menurut Ade Armando, terkait kejadian ini, kita harus berani melacak ke sumber permasalahan. Pangkal masalah dari tragedi ini ada pada sebagaian suporter yang meluapkan kemarahannya dan menyerbu ke tengah lapangan..
“Hanya sebagian kecil, tapi jumlahnya mencapai ribuan. Polisi dalam hal ini saya percaya, hanya berusaha menjalankan kewajibannya. Ingat, di lapangan masih ada para pemain dan official Arema. Para pemain Persebaya juga sudah mulai diserang. Polisi harus menertibkan keadaan,” katanya.
Ditambahkan Ade Armando, karena itu polisi memiliki kewajiban untuk mengusir suporter yang masuk ke lapangan. Dia mengeritik cara polisi menangani pengamanan dengan gas air mata.
“Pertanyaan saya adalah apa yang harus dilakukan polisi menghadapi ratusan atau ribuan orang yang menyerbu ke tengah lapangan. Yang berpotensi merusak dan mengancam nyawa,” katanya.
Menurut Ade, kondisi itu bukan pertama terjadi dalam sepak bola Indonesia. Penggunaan gas air mata merupakan prosedur yang wajar dilakuan polisi, dan itu tidak dilakukan sembarangan. Meski dia mengakui kalau gas air mata itu akhirnya membuat panik suporter yang sebenarnya tidak terlibat menyerbu ke lapangan.
“Tapi saya tidak melihat itu dilakukan oleh polisi sebagai cara represif mereka apalagi melanggar HAM,” katanya.
Kata dia, pangkal masalah ada pada perilaku sebagian suporter yang beringas, dan masalah ini harus diseleesaikan dengan mendidik suporter Indonesia. Agar mencegah tragedi ini tidak terulang.
“Kita juga belajar panitia seharusnya memberi jalan keluar yang lapang begitu perrandingan selesai. Polisi juga belajar tidak boleh menembak gas air mata ke tribun penonton. Namun yang terpenting kita harus mengajar para suporter bertindak secara beradab. Fanatisme seharusnya tidak berujung pada tindakan yang kalap, irasional, saat tim kesayangan mereka kalah,” katanya.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"