KONTEKS.CO.ID – Guru Besar Hukum Tata Negara memastikan bahwa Menko Polhukam Mahfud MD telah mengetahui siapa sumber informasi terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sistem proporsional pemilu.
Selain itu, menurut Denny Indrayana, Mahfud juga memahami tidak ada upaya pembocoran rahasia negara dalam rilisnya terkait putusan MK.
Satu lagi, sumber informasi itu bukan dari MK. Mahfud, kata Denny, mengetahui hal itu dan tidak menanyakan.
“Ya sudah santai-santai saja dulu,” ujar Denny Indrayana menirukan perkataan Mahfud MD sebelum menutup sambungan telepon.
Mantan Wamenkumham era SBY ini menyampaikan, Mafhud tahu bahwa sumber informasinya adalah tokoh antikorupsi.
“Punya integritas tak terbeli, dan kapasitas yang mumpuni. Karena itu informasi dan analisisnya soal putusan MK tentang sistem proporsional pantas dinilai kredibel, layak diperhitungkan,” kata Denny Indrayana dikutip dari laman Integrity Law Firm pada Selasa, 6 Juni 2023.
Denny menambahkan, beberapa hari lalu ia kembali berkomunikasi lagi dengan sang “sumber kredibel”. Sumber itu masih meyakini analisis yang dia sampaikan valid dan benar. “Meskipun bisa jadi berubah, karena informasi yang Mas Denny sebarkan,” kata sumber itu.
Selain soal kemungkinan putusan MK, Denny menyebut perbincangannya dengan Mahfud Sejumlah tentang penggunaan hukum sebagai instrumen pemenangan pemilu 2024.
Denny dan Mahfud sepakat hukum tidak boleh diperalat dan direndahkan untuk melanggengkan kekuasaan.
Ia mencontohkan, ada pimpinan KPK yang akan menersangkakan seorang pimpinan partai. Denny menilai respons Mahfud sudah tepat, “Silakan diproses secara hukum sesuai alat bukti yang ada saja,” kata Mahfud.
Eksekusi Penundaan Pemilu
Dalam perbincangan dengan Mahfud, Denny juga membahas tentang penundaan pemilu. Keduanya menilai saat ini ada gerakan serius untuk menunda pemilu. Salah satunya ada politisi senior yang datang menemui Mahfud dan mengatakan sudah siap dan tinggal eksekusi soal penundaan pemilu.
Rencananya saat Presiden Jokowi di luar negeri, maka diadakan sidang istimewa MPR yang menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi.
Atas rencana tersebut, Mahfud menolak tegas. Menurut Denny, Mahfud menyatakan Presiden Jokowi tidak pernah berbicara penundaan pemilu, tapi justru memerintahkan agar pemilu terlaksana tepat waktu.
“Karena kami melihat gerakan penundaan pemilu itu serius, maka saya dan Prof Mahfud sepakat untuk mengagalkannya,” kata Denny.
Jika pemilu tidak terlaksana tepat waktu, maka sangat berbahaya bagi demokrasi dan ketertiban di tanah air.
Ini pula, kata Denny, yang memicunya menulis surat terbuka kepada Ketum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Sebab, Megawati punya kekuatan dan konsisten menolak tiga periode jabatan presiden dan penundaan pemilu.
Menjegal Anies Baswedan Jadi Capres
Topik pembicaraan ketiga Denny dan Mahfud tentang Anies Baswedan agar tidak terjegal sebagai calon presiden. Dalam pertemuan terakhir di rumah dinasnya, Denny menyampaikan bahwa ia sudah bulat mendukung Anies Baswedan.
Saat itu Mahfud memastikan memberi dukungan agar Anies Baswedan bisa jadi capres. Tujuannya agar demokrasi di Indonesia makin sehat.
Denny Indrayana kemudian menceritakan bagaimana Mahfud MD dapat tawaran untuk menjadi cawapres oleh seorang tokoh yang mereka anggap fair.
Meski punya arus dukungan kuat di masyarakat bawah, tapi nama Mahfud tidak terlalu menarik pada level atas partai politik.
“Satu lagi, saya tidak yakin Prof Mahfud punya dana. Saya bisa jadi salah. Salah satu syarat menjadi paslon pilpres adalah logistik, bukan miliaran, tapi triliunan rupiah,” katanya.
Ketika tokoh fair tadi menyatakan tidak memilih seorang pimpinan sebagai cawapres, tapi masih membutuhkan parpolnya sebagai rekan koalisi, sang ketum partai itu menyebut angka Rp5 triliun sebagai ‘harga jual’ partainya.
“Pilpres kita masih transaksional. Salah-salah kita terjebak bukan pada presiden pilihan rakyat, tapi presiden pilihan uang. Karena itulah, kita harus memperjuangkan sendiri daulat rakyat (demokrasi) melawan daulat duit (duitokrasi),” katanya.
“Salah satunya dengan memastikan Mahkamah Konstitusi tidak mengebiri suara rakyat pemilih, dengan mengubah sistem proporsional terbuka, menjadi proporsional tertutup,” tutup Denny Indrayana.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"