Nasional

Cerita Sarwono Kusumaatmadja Dijajaki Pak Harto Masuk ‘Inner Circle’ Cendana, Tapi Ditolak

JAJAK PENDAPAT

Siapa pilihan Capres 2024 kamu?

KONTEKS.CO.ID – Sarwono Kusumaatmadja telah tutup usia. Namun namanya tak lekang oleh zaman.

Ada banyak cerita menarik dan mengagumkan soal perjalanan hidup Sarwono Kusumaatmadja. Seorang aktivis dan kemudian menjadi teknokrat cerdas.

Buku memoarnya berjudul “Menapak Koridor Tengah”, ada cerita menarik dari Sarwono Kusumaatmadja soal bagaimana mantan Presiden Soeharto merekrut bawahannya untuk masuk inner circle atau istilahnya ‘Orang Cendana ”

Lewat buku itu, Sarwono Kusumaatmadja bercerita soal awal menjadi menteri dalam jajaran kabinet Presiden Soeharto (Kabinet Pembangunan V, Maret 1988 – 1993).

Dalam kesaksiannya, Sarwono Kusumaatmadja selaku Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Meneg PAN) mengaku perlu untuk sering bertemu dengan Presiden Soeharto guna mendapat arahan kerja.

Permohonan untuk bertemu dari Sarwono selalu dapat lampu hijau oleh Soeharto. Pertemuan selalu berlangsung pada malam hari, pukul 20.30 di kediaman Presiden di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat.

Mereka hanya berdua saja. Pertemuan tak selalu atas permohonan Sarwono. Kadang-kadang malah Pak Harto sendiri yang memanggil Sarwono ke Cendana.

Dalam pertemuan itu, kata Sarwono, Soeharto bercerita panjang lebar tentang pangalaman masa lalu serta berbagai perjumpaannya dengan tokoh-tokoh masa tersebut.

Pada awalnya Sarwono amat tertarik dan selalu mendengarkan dengan cermat penuturan Soeharto. Terkadang ia mengajukan berbagai pertanyaan.

BACA JUGA:   Semarak Lebaran di Era Kolonial Pernah Jadi Silang Sengketa Elite Belanda, Ini Penyebabnya

Namun, lama kelamaan Sarwono merasa janggal dengan pertemuan-pertemuan mereka berdua selama tiga bulan dengan frekuensi sekali seminggu.

Karena, tidak sedikit pun ada arahan dari Presiden tentang pekerjaan Sarwono sebagai menteri.

Mencari Tahu

Lantas Sarwono mencari tahu makna pertemuan dengan Soeharto itu kepada Wakil Presiden Sudharmono, yang memang sudah lama dekat dengan Soeharto.

“Oh, itu artinya situ (kamu) sedang dijajaki apakah bisa direkrut sebagai ‘orang dalam’ (inner circle). Berarti Pak Harto sedang menjajaki, apakah orang yang namanya Sarwono ini bisa diajak untuk bekerja, tidak hanya sebagai menteri semata, tetapi juga sebagai anggota kelompok inti di sekitar beliau,” demikian kata Pak Dhar, panggilan akrab Sudarmono.

‘Orang dalam’ pada masa itu biasa disebut sebagai “Orang Cendana”, merujuk rumah pribadi Presiden Soeharto.

Hanya segelintir orang yang bisa dikategorikan sebagai “Orang Cendana”. Oleh karena itu banyak elite Golkar, militer, dan lainnya yang berusaha keras supaya bisa menjadi “Orang Cendana”.

Lalu Sarwono bertanya kepada Pak Dhar bagaimana ia harus bersikap. Sudharmono menyerahkan keputusan itu kepada Sarwono sendiri.

Sudharmono kemudian mengungkapkan pengalamannya sebagai ‘orang dalam’.

“Saya sebagai Mensesneg pernah menjadi orang dalam. Bebannya berat. Banyak yang kita ketahui, tetapi kita harus tutup mulut,” demikian kata Pak Dhar.

BACA JUGA:   Ini Mimpi Sarwono Kusumaatmadja yang Belum Terwujud Hingga Akhir Hayatnya

“Kadang-kadang ada perintah Presiden yang harus kita laksanakan, padahal hati kecil kita mempertanyakan perintah itu. Beliau juga kadang memberikan arahan yang perlu penafsiran yang tepat, dan dalam hal itu bukan perkara gampang.”

“Silakan memilih yang terbaik. Saya hanya ingin ingatkan, tidak mudah menjadi orang dalam. Beban mentalnya berat. Kalau tidak kuat menanggung beban tersebut kita bisa mengalami disorientasi dan perilaku kita bisa menjadi aneh,” tambah Pak Dhar lagi.

Sarwono kemudian menemui Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Benny Moerdani.

Ternyata jawaban Benny mirip dengan uraian Sudharmono.

Menolak

Setelah mendapat masukan dari dua seniornya tersebut, Sarwono melakukan permenungan cukup lama.

Akhirnya, ia sampai pada keputusan bahwa tidak mau menjadi ‘orang Cendana’.

“Setelah saya renungkan baik-baik, saya memutuskan tetap berada di koridor tengah. Bagaimanapun, berada dalam posisi ini saya akan dapat selalu menjaga jarak dengan kalangan elite puncak politik. Di situ saya hanya bekerja dalam batas mandat yang diberikan, tentunya dengan sentuhan kreativitas dan pendekatan sistem,” begitu keputusan Sarwono.

Masalah berikutnya adalah bagaimana cara Sarwono menyampaikan sikapnya itu kepada Pak Harto.

Jelas dia tidak bisa langsung menyampaikan kata menolak, karena tak sekali pun Pak Harto mengucapkan ajakan masuk inner circle. Apalagi, Sarwono adalah bawahan Presiden.

BACA JUGA:   Irjen Fadil Imran Diangkat Jadi Kabaharkam Polri

Kesempatan untuk menyampaikan sikap itu pun akhirnya tiba, ketika dalam pertemuan berdua Pak Harto bercerita mengenai hal-hal yang bersifat pribadi.

Inilah kesempatan itu, pikir Sarwono.

“Pak Harto, saya merasa mendapat banyak hal dalam diskusi selama ini,” begitu ucapan saya kepada Pak Harto. ”Tapi, mohon maaf, saya tidak terbiasa bercakap tentang hal-hal yang terlalu pribadi. Lagi pula Bapak belum memberikan arahan kepada saya selaku menteri, padahal beberapa laporan sudah saya sampaikan”.

Sekilas wajah Pak Harto terlihat berubah mengeras.

“Kemudian beliau katakan, ‘Silakan minum.’ Setelah berbasa-basi sejenak, saya pun pamit. Alangkah leganya perasaan saya saat itu,” ujar Sarwono.

Beberapa waktu kemudian, ketika Sarwono kembali memohon waktu untuk bertemu Presiden, ia mendapat waktu pukul 10 pagi di Bina Graha, kantor resmi Presiden, bukan di Cendana lagi.

Menurut Sarwono, suasana pertemuan tampak sudah berbeda. Dalam kesempatan tersebut, Presiden memberi arahan tentang pelaksanaan pengawasan melekat di kementerian Sarwono.

Sejak saat itu, tak pernah sekali pun Soeharto mengundang Sarwono ke Cendana untuk berbincang berdua.***



Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"

Author

Berita Lainnya

Muat lagi Loading...Tidak ada lagi