Nasional

PBNU dan Muhammadiyah Sepakat Tolak Politik Identitas

JAJAK PENDAPAT

Siapa pilihan Capres 2024 kamu?

KONTEKS.CO.ID – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan PP Muhammadiyah sepakat untuk mengedepankan politik rasional dan menolak politik identitas pada Pemilu 2024.

Selain itu, kedua tokoh ini sepakat mengedepankan kepemimpinan moral dalam menjelang pemilihan umum 2024. Ini agar pemimpin-pemimpin bangsa tidak mengedepankan kepentingan pragmatis.

“Membangun strategi untuk menciptakan momentum-momentum sehingga dapat berpengaruh terhadap mood masyarakat. Tadi dibicarakan soal kepemimpinan moral di dalam politik. Agar tidak diarahkan oleh kepentingan-kepentingan pragmatis,” kata Gus Yahya usai melakukan pertemuan.

Selain itu, Gus Yahya juga berharap visi mengenai agenda untuk bangsa dan juga komitmen menjalankan kompetisi yang dijalankan secara bermoral.

BACA JUGA:   PKS Buka Pintu Buat Sandiaga Bila Ingin Bergabung

“Kita butuh mendengar lebih banyak tentang visi, tentang agenda-agenda untuk bangsa dan negara dan juga tentang komitmen untuk melakukan menjalankan kompetisi secara lebih bermoral lebih bersih,” katanya. 

Tidak meriskir polarisasi atau perpecahan di dalam masyarakat dan seterusnya,” ucapnya.

Ditegaskan juga bahwa adanya polarisasi dalam politik yang menuju pada politik identitas dapat sangat membahayakan dan mendorong terjadinya perpecahan bagi masyarakat. Harusnya dalam kontestasi politik perlu ada tawaran-tawaran yang rasional.

BACA JUGA:   Tegas, Wagub DKI Tak Akan Pilih Anies Baswedan Saat Pilpres 2024

“Kita tidak mau ada politik berdasarkan identitas Islam bahkan tidak mau ada politik berdasarkan identitas NU, jadi kami tidak mau nanti ada kompetitor kampanye ‘Pilih orang NU’ misalnya, kita ndak mau itu,” katanya.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menegaskan perlunya menolak kontestasi politik yang mengarah pada polarisasi. Karena itu, dia mengajak seluruh unsur mengedepankan politik yang objektif dan rasional 

“Politik identitas itu kan tadi disebut Gus Yahya primordial ya, primordial itu agama, suku, ras, golongan yang dulu sering kita sebut SARA, dan karena menyandarkan lalu sering terjadi politisasi sentimen-sentimen atas nama agama suku ras golongan yang kemudian akhirnya membawa pada polarisasi bukan hanya secara inklusif bahkan di tubuh setiap komunitas, golongan itu bisa terjadi fiksi seperti yang disampaikan Gus Yahya. Saya,” kata Haedar Nashir.***

BACA JUGA:   Tak ada Gejolak Ganjar Dipilih sebagai Capres, PDIP Dinilai lebih Siap Hadapi Pemilu 2024


Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"

Author

  • Eko Priliawito

    Sudah menjalani profesi jurnalis selama 15 tahun. Reporter di Harian Lampu Merah, video jurnalis di global tv. Selama 13 tahun terakhir menjadi jurnalis di media online VIVA.

Berita Lainnya

Muat lagi Loading...Tidak ada lagi