KONTEKS.CO.ID – Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menilai rencana pembangunan lumbung pangan atau food estate di Kepulauan Seribu dapat menimbulkan sejumlah masalah.
ICEL mengungkapkan hal itu saat bincang publik atas inisiasi Yayasan Penelitian, Pendidikan dan Bantuan Hukum (YPPBH) “Bentala Indra Nusantara” di Jakarta Timur, pada Sabtu, 30 Maret 2024 lalu.
Adapun rencana food estate tersebut telah Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono buka pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) 2024, Selasa, 19 Maret 2024.
Pengamat manajemen kebijakan publik dari YPPBH, Imam Rozikin menilai, rencana tersebut masih memunculkan sejumlah tantangan, salah satunya seperti ungkapan ICEL.
ICEL menyebut proyek tersebut berpotensi meningkatkan kerentanan pulau-pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Seribu.
Selain itu, Pulau Seribu juga masih memiliki sejumlah masalah mendasar. Di antaranya pencemaran laut, kerusakan ekosistem terumbu karang, dan konflik agraria. Sehingga, ICEL mempertanyakan urgensi wacana food estate tersebut.
Menurutnya, Heru Budi saat ini hanya menegaskan bahwa rencana tersebut sudah mulai didiskusikan bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Sementara, lokasi food estate di Kepulauan Seribu masih belum tentukan.
“Sementara, lokasi food estate di Kepulauan Seribu masih belum ditentukan. Pemprov DKI Jakarta akan melakukan kajian terlebih dahulu untuk memilih lokasi yang tepat,” kata Imam Rozikin dalam keterangan resminya yang terima konteks.co.id, pada Senin, 1 April 2024
“Di samping itu, jenis komoditas yang akan ditanam kemungkinan besar akan fokus pada komoditas pangan yang tahan air laut dan memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti rumput laut, ikan, udang, kepiting, kerang,” tambahnya.
Imam Rozikin mengatakan, pada dasarnya proyek food estate tidak hanya dapat dilihat dari perspektif ekonomi semata. Sebab, proyek tersebut merupakan suatu keniscayaan yang perlu dipikirkan dan disiapkan bersama.
Khususnya menghadapi tantangan krisis pangan yang melanda sebagian wilayah dunia akhir-akhir ini dan menjadi ancaman di waktu yang akan datang.
Seperti proyek blue economy sebagai grand design dari program pengembangan produksi di sektor kelautan dan kemaritiman. Pada dasarnya menjadi perhatian bagi negara-negara besar, seperti Uni Eropa, Amerika Serikat dan China.
“Keniscayaan tentang proyek pangan yang terbarukan setidaknya perlu sejumlah best practice di negara lain, seperti program Blue Growth yang dikembangkan oleh European Economic Area dan Norwegia,” ucapnya.
Dia menjelaskan, Program Blue Growth mendukung kerja sama bisnis, inovasi dan daya saing di sektor kelautan dan kemaritiman.
“Sejak 2012, program tersebut telah berkontribusi. Setidaknya pada tiga aspek, yakni pertumbuhan inklusif, pertumbuhan produksi perikanan, dan pertumbuhan produksi akuakultur (Geng et al., 2024),” jelasnya.
Di Indonesia, proyek peningkatan produksi kelautan dan kemaritiman pernah berlangsung di Bali, Banten, Jawa Tengah. Lalu di Jawa Timur, Lampung, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Sulawesi Selatan melalui pembiayaan dari Asian Development Bank (ADB, 2022).
Lebih rinci, ungkap Imam Rozikin, sejatinya patut dicermati kembali bahwa prospek pengembangan ekonomi kelautan menjadi penting untuk mendukung prospek pengembangan Jakarta. Apalagi, setelah Jakarta kehilangan status sebagai Ibu Kota.
Karena, Jakarta saat ini hanya tinggal menunggu Keputusan Presiden (Keppres) usai disahkannya Undang-Undang Ibu Kota Negara dan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta beberapa waktu yang lalu.
Menurutnya dengan bergesernya episenter pemerintahan dapat berarti pula bergesernya ekonomi yang dikontribusikan sektor tersebut. Sehingga, opsi pengembangan ekonomi baru yang berkelanjutan menjadi penting.
Di samping itu, Jakarta perlu suatu formulasi untuk menciptakan kemandirian pangan. Hal itu agar neraca keuangan daerah tidak terbebani oleh konsumsi sektor pangan yang tidak seimbang dan dapat memicu dampak multidimensional.
“Tentunya upaya menciptakan proyek yang berkelanjutan dan memperhatikan lingkungan perlu terus diawasi. Sebab, berkaca dari sejumlah praktik penyelenggaraan food estate, tidak seluruhnya menuai hasil yang prospektif,” ungkapnya.
“Sehingga, keterlibatan aktif dan partisipasi publik atas wacana ini menjadi penting ke depan. Bagaimanpun, sukses Jakarta untuk Indonesia” katanya lagi.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"