KONTEKS.CO.ID – 2 kunci agar insiden seperti tragedi Kanjuruhan tidak terulang kembali bisa disimak di dalam artikel berikut ini.
2 kunci agar insiden seperti tragedi Kanjuruhan tidak terulang kembali. Apa sajakah kuncinya?
Perlu diketahui sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan beberapa vonis yang berbeda kepada lima terdakwa dalam tragedi Kanjuruhan.
Vonis 1 tahun 6 bulan dijatuhkan kepada eks Komandan Kompi Brimob Polda Jawa Timur, Ajun Komisaris Hasdarmawan; dan mantan Ketua Panitia Pelaksana Arema FC, Abdul Haris.
Adapun vonis 1 tahun penjara dijatuhkan kepada bekas petugas keamanan Arema FC, Suko Sutrisno.
Dua terdakwa lainnya, yakni eks Kasat Samapta Polres Malang, Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi; dan eks Kabag Ops Polres Malang, Wahyu Setyo Pranoto; divonis bebas. Kelima terdakwa tersebut dijatuhi hukuman lebih ringan dari tuntutan jaksa.
Sedangkan satu tersangka lain, yakni mantan Direktur PT Liga Indonesia Bersatu (LIB) Ahmad Hadian Lukita, belum menjalani sidang karena berkas perkaranya masih dilengkapi.
Ringannya hukuman bagi terdakwa tragedi Kanjuruhan menunjukan bahwa suporter masih dianggap bukan menjadi bagian penting dari sepak bola, sehingga hilangnya 135 nyawa tidak nemiliki arti penting di masyarakat.
Hal ini terungkap dalam diskusi publik “Pasca Kanjuruhan, Qoa Vadis Fanatisme Fans Sepak Bola Indonesia” yang diadakan oleh Pusat Komunikasi Olahraga Bung Karno di kampus Universitas Bung Karno, pada Jumat, 17 Maret 2023.

Direktur Pusat Komunikasi Olahraga Bung Karno, Dr Meistra Budiasa menilai Suporter, pemain dan ofisial adalah satu ekosistem dalam sepak bola.
“Jangan jadikan suporter sebagai komoditas tetapi jadikan sebagai bagian dari sepak bola secara keseluruhan dengan kedepankan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga hukuman ringan dan bebas bagi terdakwa kasus Kanjuruhan itu tentu jauh dari nilai-nilai kemanusiaan,” beber Meistra dalam rilis yang diterima Konteks.co.id.
Sementara itu mantan deputi sekjen PSSI yang kini menjadi Direktur Oaka Football Grup, Fanny Riawan mengatakan buruknya pengelolaan sepak bola memiliki pengaruh penting terhadap suporter.
“Presiden Jokowi sebenarnya telah mengeluarkan Inpres nomor 3 tahun 2019 yang isinya tentang pembangunan stadion dengan standard FIFA. Namun sayang ini tidak berjalan, padahal kalau berjalan, tentu tragedi ini bisa dihindari,” buka Fanny Riawan.
“Belum lagi pengelolaan sepak bola Indonesia yang masih buruk menyebabkan tidak ada jaminan keamanan bagi suporter dalam menyaksikan pertandingan. Sehingga dengan itu semua kejadian seperti ini tinggal menunggu waktu,” kata Fanny lagi mewanti-wanti.
Sementara Ketua Umum Paguyuban Suporter Timnas Indonesia, Ignatius Indro mengingatkan untuk tidak menjadikan suporter sebagai obyek, termasuk dalam masalah penegakan hukum. Sehingga 135 jiwa yang hilang dalam tragedi Kanjuruhan jangan menjadi hal yang sia-sia.
“Harus ada investigasi kembali yang lebih komperhensif untuk kasus ini, siapa orang-orang yang benar-benar bertanggung jawab harus dibawa ke pengadilan, mulai dari pihak PSSI, kepolisian hingga suporter yang dianggap bersalah,” ulas Ignatius Indro.
“Setelah itu buat aturan turunan dari undang-undang keolahragaan yang memaksa seluruh stake holder melakukan edukasi terhadap suporter hingga ke akar rumput maupun panitia pelaksana pertandingan agar adanya jaminan keamanan dan kenyamanan menonton sebuah pertandingan,” ujar Indro lagi.
Adapun Wakil Rektor II UTA’45 Jakarta, Brian Matthew menekankan pada masalah edukasi terhadap suporter hingga ke akar rumput yang harus dilakukan seluruh pemangku kepentingan termasuk para akademisi.
“Sebagai akademisi, saya mengajak para akademisi untuk bersama-sama meneliti dan mengimplementasikan hasilnya untuk bagaimana melakukan edukasi yang bisa mencakup seluruh suporter hingga ke akar rumput. Sehingga para suporter tidak menjawab masalah rivalitas dengan kekerasan dan lebih menjunjung tinggi kemanusiaan,” ungkap Brian.
Ditambahkan Profesor Thomas Horky, peneliti dari Macromedia University, Jerman, yang berbicara secara konseptual kajian akademis mengenai suporter sepak bola.
Menurut Thomas Horky, suporter sepak bola memiliki perkembangan dan terimplikasi dari komersialisasi, globalisasi, mediatisasi.
“Implikasi dari mediatisasi yang paling krusial dalam perkembangan suporter bola adalah digitalisasi karena kecepatan informasi,” tutur Thomas Horky.
Untuk itu thomas menyimpulkan bahwa Pusat Studi Komunikasi Olahraga Bung Karno perlu untuk memberikan workshop dan literasi kepada jurnalis olahraga utamanya pemberitaan suporter.
Terakhir, Dr. Rama Kertamukti dari Study Center of Digital Creative Movements UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menyatakan bahwa suporter sepak bola dilihat dari sisi brand, memiliki banyak kelemahan dalam representasi pemberitaan, karena pembicaraan tentang suporter sepak bola sebagai ruang yang banyak diskursus.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"