KONTEKS.CO.ID – Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengatakan bahwa ada kemiripan antara Soeharto dan Joko Widodo (Jokowi) dalam mempertahankan kepemimpinan lewat pemilu.
Disampaikan Hasto dalam acara Bedah Buku “NU, PNI, dan Kekerasan Pemilu 1971” karya Ken Ward (1972) di kawasan Cikini, Jakarta, Selasa, 2 April 2024, bahwa Soeharto dan Jokowi sama-sama menjalankan praktik abuse of pawer atau penyalahgunaan kekuasaan.
Aparat negara digunakan Soeharto dan Jokowi untuk dapat tetap berkuasa. Karena itu, saat membaca buku tersebut, Hasto melihat ada wajah Soeharto dan juga wajah Jokowi.
“Saya mencoba menghilangkan Pak Jokowi, tetapi sulit. Maklum 23 tahun bersama Pak Jokowi,” kata Hasto.
Hasto kemudian menyampaikan bagaimana kekerasan terlihat dengan jelas pada tahun 1971, saat Soeharto berupaya mempertahankan kekuasaannya.
Apa yang dilakukan Soeharto, kemudian memunculkan konsolidasi. Dia juga menyinggung bagaimana intimidasi terjadi kepada jurnalis.
Menurut Hasto, pada pemilu 1971 terungkap bahwa badan pengawas pemilu yang saat ini dikenal KPU, ikut mengatur kemenangan Soeharto.
Apa yang terjadi pada 1971 juga terlihat terjadi pada saat ini. Tapi tetap ada DKPP yang masih memperlihatkan kredibilitasnya.
“Yang lain kita lihat bagian dari skenario abuse of power tersebut,” ujarnya.
Kata Hasto, Soeharto mempersipkan selama 18 bulan guna mempertahankan posisinya. Dia menyebut ada operasi politik seperti Ali Murtopo, Amir Mahfud, dan Sujono Mardani.
“Kalau Pak Jokowiberapa bulan? Saya belum bisa menjawab. Kalau diukur pertama Pak LBP (Luhut Binsar Pandjaitan) mengatakan bahwa di PDIP sebenarnya banyak 70 persen, saya lupa angkanya, yang setuju perpanjangan jabatan pada 11 Maret 2022. Itu artinya 19 bulan dipersiapkan. Kalau ditinjau Pak Anwar Usman menikah pada Juni itu, 16 bulan,” katanya.
Soeharto membangun narasi tentang pembangunan nasional, stabilitas politik, keamanan, akselerasi, dan modernisasi pembangunan 25 tahun ke depan.
Para akademisi masuk dalam suatu kampanye akselerasi modernisasi. Tentu proses yang minim kebebasan, demokrasi, dan hak untuk berserikat.
“Saya coba bandingkan kekuasaan Soeharto dan Jokowi sebenarnya ada kemiripan,” kata Hasto.
Soeharto tentu menggunakan Kementerian Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri, ABRI, dan Operasi Khusus (OPSUS), untuk mewujudkan keinginannya.
Sementar Jokowi menurut Hasto, menggunakan kekuatan TNI, Polri, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertahanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Desa PDTT, Kementerian Agama, dan Kejaksaan Agung.
Juga melibatkan Kemendagri, Kemendag, Kementerian Perekonomian, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kementerian BUMN, dan Badan Pangan Nasional.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"