KONTEKS.CO.ID – Mayoritas mata uang Asia menunjukkan pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin 29 Maret 2024.
Mata uang asia yang lemah ini mencerminkan stabilitas dolar AS yang terpengaruhi oleh pertimbangan investor terhadap kebijakan suku bunga bank sentral AS setelah laporan pekerjaan yang mengesankan.
Dari sembilan mata uang Asia yang teramati, hanya tiga yang mampu menguat terhadap dolar AS. Ketiganya yaitu rupee India, peso Filipina, dan dolar Taiwan.
Sementara, mata uang rupiah Indonesia tidak diperdagangkan pada hari Minggu, 8 April 2024 karena libur Cuti Bersama dalam rangka Hari Raya Idul Fitri 1445 H atau Lebaran 2024.
Kurs Dolar Persaingan dengan Mata Uang Asia
Berikut adalah perubahan kurs dolar AS terhadap mata uang Benua Kuning (Asia) pada perdagangan hari tersebut:
- Rupee India: -0.05%
- Peso Filipina: -0.04%
- Dolar Taiwan: -0.02%
- Rupiah Indonesia: 0.00%
- Dolar Singapura: 0.01%
- Yuan China: 0.01%
- Dolar Hong Kong: 0.03%
- Yen Jepang: 0.15%
- Ringgit Malaysia: 0.21%
- Won Korea Selatan: 0.21%
- Baht Thailand: 0.25%
Dolar AS menunjukkan pergerakan stabil pada hari itu dengan indeks dolar AS (DXY) hanya naik tipis 0,07% menjadi 104,367 pada pukul 14:40 WIB.
Data pada Jumat sebelumnya menunjukkan pertumbuhan lapangan kerja AS yang melampaui ekspektasi pada bulan Maret dan kenaikan upah yang stabil, mengindikasikan perekonomian yang kuat menjelang akhir kuartal pertama.
Departemen Tenaga Kerja melaporkan bahwa nonfarm payrolls (NFP) meningkat sebesar 303.000 pekerjaan pada bulan Maret, melebihi ekspektasi kenaikan sebesar 200.000 pekerjaan yang diantisipasi oleh para ekonom yang disurvei oleh Reuters.
Sementara tingkat pengangguran pada bulan Maret mencapai 3,8%, turun dari ekspektasi stabil di 3,9%, dan upah rata-rata naik sebesar 0,3% setiap bulan, sesuai dengan perkiraan.
Meskipun data ekonomi yang kuat adalah kabar baik bagi pasar karena menunjukkan perekonomian yang sehat, hal tersebut juga dapat berarti bahwa Federal Reserve (The Fed) dalam jangka waktu yang lebih lama akan mempertahankan suku bunga yang lebih tinggi.
Menurut ahli strategi dari ANZ, pertumbuhan yang kuat menunjukkan bahwa perekonomian jauh dari resesi, namun hal ini juga bisa berarti The Fed akan mempertahankan suku bunga yang lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama.
“Data ekonomi yang tangguh adalah pedang bermata dua bagi pasar. Tapi sisi positifnya, pertumbuhan yang tangguh menunjukkan perekonomian yang jauh dari resesi, namun hal ini juga bisa berarti The Fed akan mempertahankan suku bunga lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama,” katanya dalam sebuah catatan, dikutip dari Reuters.
Pasar saat ini memperkirakan peluang penurunan suku bunga sebesar 48% dari The Fed pada bulan Juni mendatang, turun dari sekitar 60% pada pekan sebelumnya. Juli diproyeksikan sebagai awal baru untuk pelonggaran yang ditunggu-tunggu.
Investor juga memperkirakan pemotongan sebesar 62 basis poin (bp) pada tahun ini, lebih rendah dari proyeksi The Fed sebesar 75 bp.
Fokus investor pada minggu ini tertuju pada laporan indeks harga konsumen (consumer price index/CPI) AS, yang kemungkinan akan menunjukkan perlambatan inflasi inti menjadi 3,7% pada bulan Maret, turun dari 3,8% pada Februari.
Direktur Pelaksana Strategi Investasi di OCBC Bank di Singapura, Vasu Menon menyatakan jika tren inflasi yang melambat berlanjut, The Fed mungkin masih terbuka terhadap penurunan suku bunga pada bulan Juni. Namun penilaian ulang mungkin diperlukan jika tren disinflasi berlanjut.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"