KONTEKS.CO.ID – Pertamina terperangkap dalam situasi finansial yang kompleks. Masyarakat membeli bahan bakar secara tunai namun BUMN yang memiliki kewajiban layanan publik ini terlilit utang hingga ratusan triliun.
Kok Bisa?
Masyarakat awam mungkin mengira ada kesalahan dalam pengelolaan Pertamina hingga bisa membuat perusahaan ini terjerat utang.
Namun ternyata, usaha Pertamina tak sesedehana jual beli tunai dan mendatangkan laba.
Sebagai informasi, penjualan BBM bukan satu-satunya sumber pendapatan utama Pertamina. Masih ada banyak sumber pendapatan Pertamina.
Selain segmen hilir, Pertamina juga memiliki segmen kilang dan petrokimia, gas , logistik, listrik dan EBT, hingga keuangan dan jasa.
Hasil dari segmen hilir Pertamina, yang meliputi penjualan BBM ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil segmen hulunya.
Hasil dari segmen ini merupakan laba kotor yang masih harus terpakai untuk biaya penjualan dan pemasaran serta biaya umum hingga administrasi.
Pada tahun 2022, hasil segmen hilir Pertamina, yang mencakup penjualan BBM, tercatat sebesar USD 527,5 juta atau sekitar Rp8,8 triliun.
Angka ini jauh kalah jika dibandingkan dengan hasil segmen hulu yang mencapai USD7,7 miliar atau sekitar Rp127,9 triliun.
Rendahnya laba segmen hilir ini karena kewajiban layanan publik (PSO) yang membuat Pertamina tidak boleh mencari keuntungan besar dari penjualan BBM.
Namun, terkait Pertamina terjerat utang ratusan triliun memang benar adanya.
Total liabilitas atau utang Pertamina pada tahun 2022 mencapai USD 50,6 miliar atau sekitar Rp843,2 triliun.
Angka ini meningkat 43,75 persen dalam lima tahun terakhir.
Surat Utang
Peningkatan ini sebagian besar karena oleh penerbitan surat utang global pada tahun 2018, 2019, 2020, dan 2021.
Pertamina menjelaskan penerbitan surat utang ini untuk mendukung akuisisi blok-blok minyak baru.
Faktanya, dalam lima tahun terakhir, Pertamina melakukan akuisisi Blok Mahakam tepatnya pada 2018. Pertamina juga mengakuisisi Blok Rokan pada 2021.
Akuisisi tersebut merupakan langkah strategis untuk mengembalikan aset negara yang sebelumnya dikelola oleh perusahaan asing, seperti Total dan Chevron.
Meskipun akuisisi ini merupakan sebagai investasi jangka panjang, tetapi inilah yang memberikan tekanan finansial dalam jangka pendek.
Perlu waktu untuk mengembangkan potensi dari blok-blok minyak tersebut sehingga dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan Pertamina.
Dalam menghadapi utang yang menumpuk, Pertamina menghadapi tugas berat untuk menjaga keseimbangan antara memenuhi kewajiban layanan publik dan mengelola utangnya.
Keberhasilan Pertamina dalam merumuskan strategi keuangan yang bijaksana akan menjadi kunci untuk keluar dari tekanan finansial dan meraih pertumbuhan yang berkelanjutan.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"