KONTEKS.CO.ID – Penetapan harga menjadi kendala utama dalam rencana perdagangan karbon internasional. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menerangkan terdapat perbedaan mencolok antara negara maju dan berkembang terkait hal tersebut.
Salah satunya keengganan negara maju membeli karbon dari negara berkembang dengan harga yang memuaskan kedua belah pihak.
“Jadi harga karbon itu dibuat seperti tidak adil. Karena eropa itu maunya mereka lebih tinggi dibandingkan dengan karbon yang asalnya dari negara berkembang seperti indonesia,” ujar Bahlil usai konferensi pers realisasi investasi Kuartal III di Kantornya, Senin 24 Oktober 2022.
Ia mencontohkan, harga karbon yang diserap oleh negara maju punya harga USD100 dollar, sedangkan negara maju keti hanya mau menghargai USD10 dollar karbon yang dijual oleh negara berkembang.
Bahlil mengungkapkan hal tersebut dikarenakan untuk menanam pohon untuk menyerap karbon di negara maju lebih susah jika dibandingkan dengan negara berkembang seperti Indonesia yang masih punya banyak lahan hijau.
“Jadi menyangkut harga karbon itu drop, jadi karbonisasi nya didrop. Perdebatannya sengit sekali. tapi hilirisasi dan nilai tambah itu tercapai (kesepakatan),” katanya.
Indonesia sendiri, dengan atau tanpa negara maju sudah mempersiapkan infrastruktur perdagangan, diantaranya pemanfaatan teknologi blockchain pada ekosistem yang dilakukan oleh PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) atau KBI. Dengan blockchain akan tercipta jaminan keamanan atas pencatatan dan menghindari double accounting. Selain itu juga ada jaminan integritas agregasi emisi saat transaksi kredit berlangsung.
Tak hanya itu, payung hukum kegiatan perdagangan ini pun telah diterbitkan oleh presiden Jokowi pada 31 Oktober 2021 melalui Peraturan Presiden 98 Tahun 2021, yang mengatur penyelenggaraan nilai ekonomi karbon. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"