KONTEKS.CO.ID – Mengantisipasi situasi global yang penuh ketidak pastian, krisis global dan ancaman stagflasi, ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh Indonesia. Demikian diungkapkan ekonom Rizal Ramli dalam sebuah acara di radio.
Pertama, mengganti strategi ekonomi. Shifting dari investasi spekulatif seperti pasar obligasi dengan investasi langsung seperti di infrastruktur atau industri lainnya yang juga akan menciptakan lapangan kerja. “Investasi langsung tidak membuat kita mengalami capital outflow. Karena investor yang menanamkan modalnya langsung tersebut pasti akan berpikir seribu kali jika memindahkan pabriknya,” paparnya.
Kedua, tata kelola keuangan harus diperbaiki, seperti pengereman utang luar negeri dan efisiensi anggaran. Menurutnya pembangunan ekonomi Indonesia saat ini fokus pada utang luar negeri, hal ini membuat pertumbuhan ekonomi dalam bahaya.
Mantan Menko Maritim ini mengatakan terlalu banyak mengandalkan utang luar negeri membuat APBN tidak dalam kondisi sehat yang mengakibatkan mata uang rupiah alami kemerosotan. Faktor lain yang turut memengaruhi adalah alokasi anggaran terhadap hal hal yang tidak perlu dimasa sekarang.
Rizal Ramli mengingatkan pemerintah bahaya andalkan investasi spekulatif, karenaa dana tersebut bisa sewaktu waktu ditarik atau dikurangi. “Saat ini pemerintah menarik sebanyak mungkin uang spekulatif, investasi tak langsung di pasar modal. Karena itu, uangnya juga seketika ditarik ketika terjadi gejolak ekonomi internasional,” ujarnya.
Ia menambahkan, untuk menjadi negara maju seperti Jepang, pertumbuhan ekonomi kita harus tumbuh diatas 10 persen, “kita sulit mencapai angka itu karena pertumbuhan kita direm oleh utang luar negeri yang semakin meningkat.”
Mantan Menko Perekonomian era Gus Dur ini mencontohkan beberapa negara seperti Vietnam dan Filipina yang tidak memiliki komoditi namun ekonominya bisa tumbuh jauh diatas Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun 2022 berada di angka 5,4 persen. Sedangkan ekonomi Vietnam pada kuartal II-2022 tumbuh 7,72% dan Vietnam merupakan pusat manufaktur regional. Adapun Filipina mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7,4% yang ditopang oleh peningkatan investasi dan belanja pemerintah. Sementara konsumsi rumah tangga cenderung melemah. “Indonesia yang memiliki komoditi hanya bisa tumbuh 5,5 persen. Padahal seharusnya bisa jauh lebih tinggi dari itu,” tutup Rizal Ramli. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"