KONTEKS.CO.ID – Sejarah BP Batam yang kini menjadi sorotan pascabentrok aparat keamanan dengan masyarakat Melayu di Pulau Rempang, Kepulauan Riau.
Pulau Rempang masuk dalam proyek strategis nasional Rempang Eco City. Proyek ini telah pemerintah berikan hak pengelolaan dan pengembangannya kepada PT Makmur Elok Graha (MEG), anak perusahaan Grup Artha Graha milik taipan, Tomy Winata.
Badan Pengelolaan (BP) Batam sendiri pemangku-kepentingan atas wilayah Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
Sejarah Berdirinya BP Batam
Batam memiliki letak yang sangat strategis. Wilayahnya tepat berada di jalur lalu lintas perdagangan internasional Selat Malaka.
Ini adalah merupakan jalur perdagangan internasional tersibuk kedua setelah Selat Dover di Inggris.
Selain itu, posisinya juga sangat strategis hanya 20 km atau 12,5 mil laut dari Singapura. Jarak tempuhnya ke sana hanya membutuhkan waktu 45 menit melalui jalur laut. Plus aksesibilitas yang mudah ke negara lainnya di belahan dunia mana pun.
Pulau Batam sendiri merupakan salah satu pulau terbesar dari rangkaian 329 rangkaian pulau di sekitarnya di Kepulauan Riau. Luasnya mencapai 415 km2 atau 67% luas dari Singapura.
Ingin menyulap Batam yang kecil menjadi lokomotif pembangunan nasional dan pusat pembangunan kawasan industri berteknologi, Presiden ke-3 Republik Indonesia, yang juga Ketua Otorita Batam ke-3, BJ Habibie, membuat konsep Barelang (Batam Rempang Galang) yang dihubungkan dengan 6 jembatan Barelang
Tujuannya, agar luasnya menjadi 715 km2 atau 13% lebih besar dari Singapura. Harapannya, Batam berdikari dan dapat bersaing dengan Singapura.
Kemajuan Batam tak bisa melupakan jasa Presiden Soeharto. Sepanjang masa Orde Baru, Jenderal Besar TNI itu memprioritaskan pembangunan di bidang ekonomi.
Walau prioritas pembangunan ekonomi itu bertitik berat pada bidang pertanian, Presiden Soeharto, juga tetap memberi perhatian pada bidang industri.
Dia kemudian menetapkan sebuah gugusan pulau yang termasuk ke dalam Provinsi Riau saat itu, namanya Batam. Selama masa pemerintahannya, Soeharto memang sangat memerhatikan perkembangan pembangunan Batam dari tahap ke tahap.
Batam, kini telah menjadi sebuah “kota industri” yang mempunyai banyak daya tarik. Pada 1960, Ibu Kota Provinsi Riau tergeser ke Pekanbaru yang sebelumnya berada di Tanjung Pinang.
Sejak saat itu, Tanjung Pinang resmi menjadi Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Riau, yang meliputi 17 kecamatan. Termasuk di antaranya Pulau Batam yang berada di lingkup Kecamatan Pulau Buluh.
Pulau Batam berstatus sebagai satu desa dalam lingkup kecamatan Pulau Buluh, Belakang Padang pada tahun 1965.
Pada saat itu, Pulau Batam hanyalah tempat yang tidak diutamakan. Kondisinya yang tidak lebih seperti pulau hinterland di Kepulauan Riau, jauh dari fasilitas, sarana, prasarana dan infrastruktur seperti sekarang.
Peraturan Lahirnya Badan Pengelolaan Batam
Pada 26 Oktober 1971 hadir Keppres No 74 1971 tentang Pengembangan Pembangunan Pulau Batam Menjadi Daerah Industri. Di era tersebut, cikal bakal munculnya Otorita Batam yang Keppres No 41 Tahun 1973 resmikan.
Poin penting peraturan ini adalah “Pembentukan Badan Pemimpinan Industri Batam”. Ini selanjutnya bernama Badan Pimpinan yang bertangung jawab di bawah Presiden.
Orang pertama yang memimpin badan ini adalah Ibnu Sutowo, selaku Direktur Pertamina. Karena itu, setiap tanggal 26 Oktober terperingati sebagai HUT OB atau BP Batam.
Melansir laman resmi BP Batam, kota ini telah berkembang pesat dengan jumlah penduduk hampir 1,3 juta jiwa.
Tak ada yang membayangkan bahwa kota ini dahulu hanyalah gugusan rawa-rawa belukar. Sedangkan jumlah penduduknya hanya 6.000 jiwa dan tinggal di pesisir pantai.
Kini BP Batam tengah mendapat penolakan dari warganya. Titik pangkalnya adalah proyek Rempang Eco City yang bakal menggusur belasan kampung suku Melayu.
Mereka yang sudah mendiami Pulau Rempang ratusan tahun menolak relokasi. Bagi warga, masalahnya bukan hanya relokasi, namun juga mata pencaharian. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"