KONTEKS.CO.ID – Presiden Jokowi kembali mendapat sorotan media asing menjelang lengser dari jabatannya sebagai pimpinan pemerintahan dan negara.
Sorotan terbaru datang dari media asing berpengaruhi yang berbasis di Hong kong, South China Morning Post (SCMP). Mereka menurunkan artikel “From ‘New Hope’ to ‘Mulyono’: how power grabs threaten Widodo’s legacy in Indonesia“.
Dalam tulisan yang terpublikasi pada 8 September 2024 itu, SCMP menyebut Presiden Jokowi sebagai “Harapan Baru” pada 10 tahun lalu. Saat ia terpilih pertama kali dalam Pilpres 2014. Sebuah pujian yang men
Pujian “Harapan Baru” tergambarkan dalam sampul majalah Time. SCMP menilainya sebagai cerminan keyakinan luas bahwa Jokowi sebagai presiden baru akan membasmi korupsi dan mengekang dominasi elite.
“Sekarang, menjelang akhir masa jabatan kedua dan terakhirnya, banyak orang Indonesia mulai memanggilnya dengan nama lahirnya –Mulyono– untuk mempermalukannya,” kata Ian Wilson, sosiolog politik di Pusat Penelitian Indo-Pasifik Universitas Murdoch di Perth, mengutip SCMP, Jumat 13 September 2024.
Citra Baik Joko Widodo Tercoreng
Meskipun menikmati dukungan kuat dan peringkat persetujuan yang tinggi selama masa jabatannya, peristiwa terkini –termasuk upaya anggota parlemen sekutunya untuk melemahkan demokrasi– telah memicu protes dan kemarahan luas. Sesuatu yang serius dan dapat menodai warisannya.
Ketidakpuasan ini khususnya terlihat jelas secara daring, di mana nama “Mulyono” sering tergunakan warganet.
Orang tua Widodo mengubah namanya ketika ia masih kecil karena sering sakit-sakitan di masa kecil. Dalam budaya Jawa, nama memiliki makna khusus dan teryakini dapat memengaruhi takdir seseorang.
Nama baru itu melambangkan awal yang baru dan harapan untuk kesehatan dan kesuksesan yang lebih baik dalam hidup.
Dedi Dinarto, analis utama Indonesia di firma penasihat kebijakan publik Global Counsel, mengatakan, penggunaan nama lahir Widodo oleh masyarakat Indonesia mencerminkan “ketidakpuasan yang semakin besar” terhadapnya.
“(Itu) adalah langkah kembali ke pandangan yang lebih mendasar atau tanpa hiasan tentang identitasnya. Ini menunjukkan adanya jarak dari citra baik yang telah ia bangun selama masa jabatannya,” kata Dedi.
Bulan lalu, protes nasional meletus terhadap usulan perubahan hukum yang oleh banyak teranggap sebagai perebutan kekuasaan oleh Widodo. Ini upayanya untuk memperkuat pengaruh politik keluarganya beberapa minggu sebelum ia lengser.
Perubahan tersebut akan membuka jalan bagi putra bungsu sang presiden, Kaesang Pangarep, untuk mencalonkan diri sebagai gubernur provinsi. Serta dapat memengaruhi hasil Pemilihan Gubernur Jakarta yang berpengaruh.
Protes di Indonesia memanas saat anggota parlemen mengesampingkan rencana untuk mengubah undang-undang pemilu.
Tuduhan serupa terlayangkan kepada Widodo tahun lalu. Ini terjadi setelah perubahan konstitusi pada menit-menit terakhir yang mengizinkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Gibran sendiri akan menjabat bersama presiden terpilih Prabowo Subianto pada bulan Oktober.
“Jokowi telah membangun persepsi publik yang sebagian besar positif selama dua periode kekuasaannya. Tetapi sekarang persepsi itu terpukul,” kata Wilson.
“Hal ini terjadi karena upayanya untuk campur tangan dalam proses demokrasi untuk mengonsolidasikan kepentingan keluarganya. Ini bertentangan dengan pemahaman hukum dan moral banyak orang tentang bagaimana politik seharusnya berlangsung,” katanya.
Suka dan Duka Presiden Jokowi Pimpin Indonesia
Dalam pidato kenegaraan terakhirnya pada pertengahan Agustus, Widodo dengan bangga menyoroti tonggak-tonggak ekonomi dan pembangunan masa jabatan kepresidenannya. Khususnya di bidang infrastruktur.
Ia menggembar-gemborkan pembangunan jalan tol baru sepanjang 2.700 km (1.677 mil), 50 pelabuhan dan bandara baru, dan 1,1 juta hektare (2,7 juta hektare) kanal irigasi.
Meskipun tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5% selama dua periode masa jabatannya sebagai presiden masih jauh dari target ambisius. Ia sebelumnya berjanji mencapai pertumbuhan 7%.
Upaya infrastruktur presiden yang akan lengser tidak boleh diabaikan, kata Sana Jaffrey, seorang peneliti di Universitas Nasional Australia yang mengkhususkan diri dalam politik Indonesia. Terutama mengingat penggunaannya yang meluas oleh masyarakat Indonesia biasa.
“Namun, ini dapat terjadi bersamaan dengan hal lain yang akan diingatnya. Yakni, periode kemunduran demokrasi yang sangat intens di Indonesia,” katanya.
Ia merujuk pada melemahnya lembaga antikorupsi dan peradilan Indonesia di bawah masa jabatannya.
Menurut para analis, sentimen publik terhadap Widodo merupakan campuran antara kemarahan dan kekecewaan. Dulunya merupakan sumber harapan, mantan penjual furnitur ini menjadi pemimpin pertama Indonesia yang tidak memiliki latar belakang militer atau politik.
Ia menginspirasi harapan untuk melepaskan diri dari dominasi elite yang menandai pemerintahan otoriter Soeharto selama 32 tahun.
Namun tuduhan penyalahgunaan lembaga negara untuk menempatkan anggota keluarganya dalam kekuasaan menunjukkan perubahan demokrasi yang berarti masih terbatas.
Konsekuensi dan Preseden Demokrasi Indonesia
Dalam beberapa bulan terakhir, analis mengatakan mantan Wali Kota Solo itu telah berupaya mengonsolidasikan kekuasaan sebelum meninggalkan jabatannya.
Ia telah membuat penunjukan strategis, seperti menunjuk Bahlil Lahadalia, Ketum Partai Golkar, sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral baru melalui perombakan kabinet bulan lalu.
Bahlil, tokoh kunci dalam kampanye presiden terakhir sang presiden, dapat membantu menempatkan Jokowi yang akan lengser sebagai Kepala Dewan Penasihat Golkar, memberinya platform politik yang substansial.
“Perombakan pada tahap akhir ini tidak ada hubungannya dengan kebijakan atau tata kelola. Itu adalah tentang memindahkan para loyalis ke posisi-posisi kunci untuk mencoba dan mengonsolidasikan kekuasaannya sendiri. Namun Jokowi akan kehilangan kekuasaan itu begitu Prabowo menjadi presiden,” papar Wilson.
“Apakah ia dapat mengonsolidasikan posisi di Golkar atau di tempat lain masih belum jelas,” tambahnya.
Jaffrey menambahkan, Ayah Gibran itu telah membuat preseden untuk memanipulasi sistem politik “demi keuntungan orang yang berkuasa”. Hal itu menunjukkan bahwa Prabowo mungkin akan menggunakan taktik serupa.
“Jokowi telah memberinya alat dan kendali yang terkonsolidasi – terutama atas aparat keamanan – untuk menggunakan strategi yang sama persis dengan yang telah dilakukan Jokowi di masa lalu. Termasuk campur tangan dalam partai dan menggunakan wortel dan tongkat untuk mengelola sekutu dan pesaing,” tandasnya.
Presiden Jokowi Berupaya Pertahankan Pengaruh
Sedangkan, Dedi meyakini Widodo akan berusaha mempertahankan pengaruh politik melalui sekutu. Seperti Bahlil di Golkar dan bahkan melalui putranya, Gibran, wakil presiden terpilih.
Alih-alih jabatan wakil presiden sering kali dianggap sebagian besar seremonial di Indonesia, Gibran dapat memanfaatkan peran tersebut untuk jabatan yang lebih penting dalam jangka panjang.
Para pengamat juga menunjukkan bahwa jika masalah kesehatan atau keadaan lain menghalangi Prabowo yang berusia 72 tahun untuk menyelesaikan masa jabatannya. Ini adalah kesempatan Gibran dapat naik ke kursi kepresidenan. Namun, Dedi memperingatkan bahwa Prabowo dan sekutunya tidak akan membuat jalan ini mudah.
“Gibran dapat menggunakan lima tahun ke depan untuk membangun profil nasionalnya dan berpotensi mencalonkan diri sebagai presiden pada 2029. Tetapi keberhasilannya dalam upaya ini kemungkinan akan dibatasi oleh Prabowo dan kroninya, yang diharapkan dapat mengendalikannya,” tukasnya. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"