KONTEKS.CO.ID – Media ternama Inggris, The Economist, dengan lantang menyerang Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menciptakan darurat demokrasi di Indonesia.
“Jokowi masih berkuasa dan para pengunjuk rasa marah karenanya,” tulis The Economist membuka tulisannya, mengutip Senin 2 September 2024.
Jokowi pun mereka bandingkan dengan mantan Presiden Soeharto. “Itulah jenis langkah yang akan dikagumi Suharto, seorang pemimpin yang memerintah Indonesia dengan tangan besi dari tahun 1967 hingga 1998,” katanya lagi.
Jokowi teranggap mengambilalih paksa Partai Golkar pada tanggal 21 Agustus 2024. Ketika para kadernya memilih Bahlil Lahadalia, penentu kebijakan presiden dan Menteri ESDM, sebagai ketuanya.
Media yang memiliki pengaruh global itu menulis bahwa tak seorang pun berani mencalonkan diri melawan Bahlil. Dalam pidato kemenangannya yang penuh dengan rasa puas, ia memperingatkan para pengikutnya “untuk tidak mempermainkan Raja Jawa”.
Sebutan Raja Jawa Bahlil untuk Presiden Jokowi?
Menurut The Economist, sebutan Raja Jawa dengan jelas merujuk kepada Jokowi. Bahlil menambahkan, perlawanan hanya akan berakhir buruk bagi mereka.
Pada saat yang sama, sekutu presiden di badan legislatif dengan tergesa-gesa menyusun revisi Undang-Undang Pilkada yang akan berlangsung pada November nanti.
Amandemen tersebut akan melarang Anies Baswedan, politisi oposisi terkemuka, untuk mencalonkan diri sebagai gubernur Jakarta.
Revisi tersebut juga akan menurunkan batas usia minimum untuk mencalonkan diri beberapa bulan. Sebuah perubahan yang mungkin hanya akan menguntungkan satu kandidat, yakni Kaesang Pangarep yang berusia 29 tahun, putra kedua Presiden Jokowi.
Keesokan harinya, tulis media ini, puluhan ribu pengunjuk rasa turun ke gedung legislatif. Kemudian memenuhi media sosial dengan gambar-gambar yang menyatakan “darurat demokrasi”.
Bintang film dan jurnalis terkemuka ikut serta dalam aksi tersebut. Mereka menunjuk akun Instagram istri Kaesang, yang menunjukkan bahwa keduanya telah melakukan perjalanan dari Jakarta ke Los Angeles dengan jet pribadi di awal pekan untuk berbelanja.
Menjelang sore, tampaknya protes akan semakin meluas, untuk menantang cengkeraman koalisi yang berkuasa terhadap kekuasaan. Kemudian pada hari itu, koalisi presiden mencabut RUU tersebut.
Perjalanan Karier Joko Widodo alias Jokowi
Jokowi pertama kali terpilih pada tahun 2014 dengan janji untuk mengubah politik Indonesia. Tidak seperti presiden Indonesia lainnya, yang sebagian besar berasal dari dinasti militer atau politik, ia tampak berbeda.
Ia adalah seorang pengusaha kecil. Anak-anaknya, katanya, tidak memiliki ambisi politik. Memenangkan pemilihan umum yang ketat atas Prabowo Subianto, seorang pensiunan jenderal dan mantan menantu Soeharto, ia menolak memberikan kursi kabinet sebagai imbalan atas dukungan di badan legislatif dari 10 partai politik Indonesia.
Jokowi menjanjikan akan menunjuk pemerintahan teknokrat. Enam partai menanggapi dengan membahas pemakzulan Jokowi bahkan sebelum ia menginjakkan kaki di Istana Presiden.
Pengalaman itu tampaknya menghantui Jokowi. Setelah menjabat, pemerintahannya memanipulasi perpecahan dalam partai oposisi untuk mengangkat komite eksekutif yang mendukungnya.
Pada 2016, ia telah menyambut mereka ke dalam koalisi dan kabinetnya, dan berbagi rampasan kemenangan dengan mereka melalui perusahaan milik negara.
Setelah mengalahkan Prabowo lagi pada tahun 2019, ia mengejutkan rakyat Indonesia dengan mengangkatnya sebagai menteri pertahanan.
Mantan Wali Kota Solo itu juga membawa Partai Gerindra pimpinan Prabowo ke dalam kabinet, yang selanjutnya memperluas koalisinya menjadi delapan partai. Plus dukungan 74% kursi legislatif.
Tingkat penerimaan Jokowi secara konsisten tetap berada di sekitar 75%, meskipun otoriterismenya meningkat. Selama pandemi, ia mempertimbangkan gagasan untuk memperpanjang masa jabatannya melalui deklarasi darurat. Atau mengubah konstitusi untuk memungkinkannya mencalonkan diri untuk ketiga kalinya.
Namun, para pemimpin partai politik menolak gagasan tersebut, dan Jokowi mengubah haluan. Dalam pemilihan presiden awal tahun ini, ia mendukung Prabowo, yang memilih Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, sebagai wakil presidennya. Duet ini akan mulai menjabat pada tanggal 20 Oktober.
Sejauh ini, kemitraan antara kedua keluarga tersebut terjalin erat. Namun, ada beberapa keretakan.
Gerindra adalah partai pertama yang menarik diri dari negosiasi untuk mengubah undang-undang pemilihan daerah. Dan, dalam referensi tidak langsung kepada Jokowi, menyeburkan pada 25 Agustus, bahwa beberapa orang memiliki kehausan yang tak ada habisnya akan kekuasaan.
Ini adalah tanda yang sangat langka dari sikap tidak berterima kasih dari Prabowo. Dan sebagai tanda lain bahwa keseimbangan kekuasaan di antara mereka sedang berada di bawah tekanan. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"