KONTEKS.CO.ID – Pekerja migran Indonesia dan negara lain di Taiwan melakukan demonstrasi menolak praktik perbudakan oleh perusahaan atau majikannya di sana.
Yang menarik, aksi demonstrasi yang mereka lakukan terlakukan melalui panggung musik dan puisi. Aksi ini dilakukan oleh band Southern Riot yang tergawangi empat TKI.
Dikelilingi oleh rekan-rekan anggota bandnya, Rudi tampil di kota pelabuhan Kaohsiung di bagian selatan Taiwan. Saat dia melihat ke arah kerumunan, rekan bandnya mulai bermain, membuat penonton menjadi sangat bersemangat.
“Dibungkam oleh ancaman, di sini kita menentang sistem perbudakan ini,” Rudi bernyanyi, sementara massa membentuk mosh pit, ikut bernyanyi bersamanya.
Di sampingnya, sebuah spanduk digantung di antara dua mikrofon bertuliskan, “Pekerja migran mempunyai hak untuk bersuara”.
Berasal dari kota Indramayu, Jawa Barat, Rudi berjuang mencari pekerjaan di negara asalnya. “Sulit mencari pekerjaan di Indonesia, hampir mustahil,” ujarnya kepada Al Jazeera, Senin 1 Juli 2024. “Saya tidak punya pekerjaan tetap. Saya melakukan semua yang saya bisa.”
Rudi pindah ke Taiwan pada tahun 2015 untuk mengoperasikan alat berat di sebuah pabrik. Seperti banyak dari 768.000 pekerja migran di pulau itu, dia mencari pekerjaan dan kesempatan untuk membangun kehidupan yang lebih baik.
Namun kenyataannya seringkali lebih rumit. Meskipun pekerja migran memperoleh penghasilan lebih besar di Taiwan, banyak dari mereka yang tereksploitasi, terjebak dalam utang, atau menghadapi pelecehan fisik dan seksual.
Menghadapi hal ini, banyak yang melakukan perlawanan, membentuk serikat pekerja dan LSM, dan terlibat dalam protes yang bervariasi mulai dari tarian flash mob hingga pertunjukan musik.
Terdiri dari empat pekerja asal Indonesia, band Rudi, Southern Riot, terbentuk tiga tahun lalu dan sudah tampil di festival musik tahunan terbesar Taiwan, MegaPort.
Menggabungkan puisi dan musik punk, lagu-lagu protes mereka menentang apa yang mereka gambarkan sebagai “sistem perbudakan” dan menjebak para migran.
Mereka juga memberikan ruang bagi audiensnya – yang sebagian besar adalah pekerja migran – untuk mengekspresikan diri dan melepaskan diri dari kehidupan kerja. “Di atas panggung, saya merasa senang,” jelas Rudi. “Lagu kami seperti ekspresi perasaan kami.”
Pekerja Migran Indonesia dan Negara Lain Menghadapi Eksploitasi
Hampir semua pekerja tiba di Taiwan melalui agen tenaga kerja atau calo, sehingga membuka peluang bagi mereka untuk tereksploitasi.
“Kami harus membayar mereka untuk membawa kami ke sini,” kata Rudi, mengacu pada biaya penempatan yang para calo bebankan. “Terus kalau ke Taiwan juga harus bayar. Mereka memotong gaji kami untuk membayar biaya bulanan.”
Bagi banyak orang, biaya penempatan ini bisa mencapai USD9.000 (Rp147 juta). “Hal ini merupakan kerugian yang hampir tidak dapat teratasi bagi para pekerja migran yang hanya berasal dari negara-negara kurang kaya di Asia Tenggara,” kata Lennon Wang dari Serve the People Association (SPA), LSM lokal yang fokus pada hak-hak pekerja migran.
Berasal dari keluarga petani pedesaan di utara Pulau Luzon, Filipina, Ronalyn Asis harus membayar sekitar 120.000 peso Filipina (Rp33 juta) untuk menutupi biaya pelatihan. Juga biaya tiket pesawat, dan biaya penempatan sebelum ia mulai bekerja sebagai pengasuh rumah tangga di Taiwan pada tahun 2014.
Meskipun Asis bisa meminjam uang dari keluarga besarnya, Lennon mengatakan, banyak orang lain yang terpaksa mencari pinjaman swasta. Hal ini biasanya terberikan melalui calo tenaga kerja itu sendiri dan mungkin mendapatkan suku bunga tinggi yang dapat membuat pekerja terjebak dalam utang.
Permasalahan mereka tidak berakhir ketika mereka tiba di Taiwan. Rudi menjelaskan, pekerja migran mendapat tugas yang lebih berat dan bekerja lebih keras ketimbang pekerja migran lokal.
Sementara pekerja migran lainnya tidak terbayar dengan layak. “Setiap aspek pekerjaan kami penuh dengan ketidakadilan,” tambahnya.
“Banyak yang bekerja melebihi batas kontrak mereka, atau tanpa waktu istirahat yang layak,” cetus Lennon.
Awalnya bekerja untuk merawat seorang anggota keluarga Taiwan yang sudah lanjut usia, Asis mendapati juga bertindak sebagai pembantu rumah tangga, memasak dan membersihkan rumah untuk majikannya. Dia hanya mendapat waktu luang 10 jam sebulan.
“Awalnya, saya merasa sangat kecewa dengan situasi ini tetapi saya merasa sudah terikat dengan majikan. Dan saya tidak punya pilihan selain menerimanya,” katanya. “Saya mempunyai pinjaman yang harus saya bayar, jadi saya melakukannya.” ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"