KONTEKS.CO.ID – Gelombang panas ekstrem atau heat wave melanda negara-negara di Asia mencapai angka di atas 40 derajat Celcius.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Badan Meteorologi Dunia (WMO) memperingatkan munculnya gelombang panas ekstrem tersebut.
WMO menyebutkan, penyebab gelombang panas ekstrem di Benua Asia, khususnya di Asia Tenggara (ASEAN) adalah pemanasan global. Serta perubahan iklim ekstrem di wilayah Asia.
WMO menyampaikan hal itu dalam laporannya bertajuk State of the Climate in Asia 2023, pada Rabu, 24 April 2024 lalu.
Menurut WMO, Asia menjadi wilayah yang paling banyak terkena bencana di dunia akibat cuaca, iklim, dan bahaya terkait air pada tahun 2023.
“Banjir dan badai menyebabkan jumlah korban jiwa dan kerugian ekonomi tertinggi yang dilaporkan, sementara dampak gelombang panas menjadi lebih parah,” tulis laporan WMO mengutip Minggu, 5 Mei 2024.
Benua Asia, lanjut WMO, mengalami pemanasan lebih cepat dari rata-rata global. Bahkan, trennya meningkat hampir dua kali lipat sejak periode 1961-1990.
“Kesimpulan dari laporan ini sangat menyadarkan kita,” ucap Sekretaris Jenderal WMO Celeste Saulo dalam keterangannya.
Laporan WMO, Myanmar menjadi negara paling buruk terdampak gelombang panas di kawasan ASEAN. Suhu tertinggi mencapai 48,2 derajat Celcius pada Minggu, 28 April 2024.
Di Kota Chauk wilayah Magway, Myanmar suhu mencapai 48,2 derajat Celcius. Suhu tersebut bahkan tertinggi sejak 56 tahun lalu.
Kemudian, suhu di Filipina mencapai 47 derajat Celcius pada Selasa, 23 April 2024.
Lalu di Thailand, suhu tertinggi tercatat sebesar 44,2 derajat celcius pada, Sabtu 27 April 2024.
Suhu tersebut bahkan menyebabkan 30 orang tewas sepanjang tahun.
Kemudian, Kamboja mencatatkan suhu tertinggi dalam 170 tahun terakhir mencapai angka 43-44 derajat Celcius pada Rabu, 30 April 2024.
Di Vietnam, suhu mencapai 44 derajat Celcius pada, Jumat 28 April 2024.
Malaysia dan Singapura mencatat suhu di 40 derajat Celcius Rabu 30 April dan Jumat 28 April 2024.
Suhu Panas di Indonesia
Suhu panas juga terjadi di wilayah Indonesia. Menurut data BMKG, suhu panas di wilayah Indonesia di atas 36 derajat Celcius tercatat pada beberapa wilayah.
Di Deli Serdang Sumatra Utara, suhu mencapai 37,1 derajat Celcius. Medan di angka 36,6 derajat Celcius.
Lalu, Kapuas Hulu di Kalimantan Barat 36,6 derajat Celcius, Sidoarjo di Jawa Timur 36,6 derajat Celcius, dan Bengkulu sebesar 36,6 derajat Celcius
BMKG menyebutkan,suhu panas yang melanda wilayah Indonesia terjadi lantaran sebagian besar wilayah Indonesia atau 63,66 persen memasuki periode musim kemarau.
Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto mengatakan, sebagian besar wilayah Indonesia akan memasuki periode musim kemarau pada bulan Mei hingga Agustus 2024.
“Memasuki periode Mei, sebagian wilayah Indonesia mulai mengalami awal kemarau dan sebagian wilayah lainnya masih mengalami periode peralihan musim atau pancaroba,” kata Guswanto dalam keterannya Minggu, 5 Mei 2024.
Kondisi tersebut, kata Guswanto, menyebabkan potensi fenomena suhu panas dan kondisi cerah di siang hari di awal Mei 2024.
Menurut Guswanto, sepekan terakhir fenomena gelombang panas memang terjadi di sebagian wilayah Asia.
Meski demikian, kondisi itu tak terkait dengan suhu panas di Indonesia.
“Fenomena udara panas di Indonesia belakangan merupakan fenomena yang bersiklus terjadi setiap tahun,” ujarnya.
Hal itu akibat dari adanya gerak semu matahari dan kondisi cuaca cerah pada siang hari.
Guswanto menjelaskan, istilah gelombang panas menurut World Meteorological Organization (WMO) merupakan fenomena kondisi udara panas yang berkepanjangan selama lima hari atau lebih secara berturut-turut.
Kondisi tersebut membuat suhu maksimum harian lebih tinggi dari suhu maksimum rata-rata hingga 5 derajat Celcius atau lebih.
Umumnya, fenomena gelombang panas terjadi di wilayah lintang menengah-tinggi seperti wilayah Eropa, Amerika, dan sebagian wilayah Asia.
Secara meteorologis, lanjut Guswanto, hal itu terjadi karena adanya udara panas yang terperangkap di suatu wilayah dekat permukaan akibat anomali dinamika atmosfer.
Sehingga, aliran udara tidak bergerak dalam skala yang luas. Contohnya, pada sistem tekanan tinggi skala luas dalam periode cukup lama.
“Kondisi atmosfer tersebut sulit terjadi di wilayah Indonesia yang berada di wilayah ekuator,” jelasnya.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"