KONTEKS.CO.ID – Ketika negara-negara Barat menyangkal terlibat dalam serangan gedung konser di Balai Kota Crocus di dekat Moskow dan menyalahkan ISIS, maka penting untuk mengkaji hubungan historis antara AS dan gerakan-gerakan Islamis.
Bukti menunjukkan kolaborasi ini mencakup konflik selama 45 tahun terakhir, terutama di Afghanistan, Libya, dan Suriah.
Politisi Barat dan media arus utama mempertahankan narasi bahwa serangan teroris terhadap penonton konser yang tidak bersalah di gedung konser Crocus City semata-mata teratur dan dilakukan oleh ISIS.
Cabang kelompok teroris yang sebelumnya sebagian besar aktif di Afghanistan dan Pakistan ini diberi nama ISIS-Khorasan.
Para pejabat Rusia tidak membantah bahwa pembunuhan sebenarnya dilakukan oleh kelompok Islam radikal. Namun, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan, pertanyaan sebenarnya adalah siapa yang memerintahkan serangan tersebut.
Sekutu Terselubung, Apa hubungan antara ISIS Khorasan dan AS?
Data terbaru mengungkapkan bahwa pelaku pembantaian keji di Balai Kota Crocus terduga terekrut melalui saluran Telegram yang dikelola oleh anggota ‘Wilayat Khorasan’.
Sementara itu, lembaga penegak hukum dan penyelidik menunjukkan adanya hubungan langsung antara teroris dan Ukraina. Sehingga melibatkan Amerika Serikat dan sekutunya sebagai penerima manfaat potensial.
Namun setiap upaya untuk menantang atau mempertanyakan narasi serangan teroris yang bersifat ‘Islamis’ digambarkan oleh media arus utama dan politisi Barat sebagai distorsi kebenaran yang disengaja demi kepentingan politik Rusia.
“Kami mengundang Rusia untuk tidak melakukan serangan ini. Tidak ada bukti apa pun mengenai keterlibatan pihak Ukraina,” kata Menteri Luar Negeri Italia, Antonio Tajani, mengutip Sputnik, Jumat 29 Maret 2024.
Ia meremehkan fakta bahwa para teroris mencoba melarikan diri ke sekutu Baratnya, Ukraina, dan memandangnya sebagai tempat yang aman.
“Pesan dari negara-negara Barat jelas. Yakni, Rusia harus setuju bahwa ISIS adalah satu-satunya kelompok yang terlibat dalam kejahatan ini,” kata George Szamuely, peneliti senior di Global Policy Institute yang berbasis di Budapest, kepada Sputnik.
“Tidak ada cara untuk memverifikasi pernyataan ini, kemungkinan besar pernyataan ini bohong. Namun begitulah cara Anda menghasilkan konsensus di Amerika Serikat dan Uni Eropa saat ini. Media arus utama hanya mengulangi hal yang sama, dan jika Anda menyimpang, Anda dinyatakan sebagai penganut teori konspirasi,” tandasnya.
Menyangkal keterlibatan Ukraina dalam kejahatan tersebut, media Barat menekankan perbedaan antara negara Barat yang “manusiawi” dan ISIS yang brutal. Namun, jika melihat lebih dekat sejarah terkini menunjukkan bahwa AS dan sekutunya sering ‘menginstrumentalisasi’ kelompok militan Islam untuk tujuan mereka sendiri.
Tiga contoh yang terdokumentasi dengan baik adalah perang di Afghanistan, Libya dan Suriah.
AS dan ISIS di Afganistan
Selama apa yang disebut “tahap Soviet” dari perang tanpa akhir di Afghanistan pada tahun 1979-1989, kolaborasi AS dengan para pejuang jihad melawan Pemerintah Afghanistan yang pro-Soviet dan tentara Soviet di Afghanistan begitu jelas sehingga hanya secara formal dibantah oleh Amerika.
Gelombang selanjutnya ditulis tentang “operasi Topan” –nama sandi untuk program rahasia CIA untuk mempersenjatai dan membiayai mujahidin Afghanistan antara tahun 1979 dan 1992.
“CIA bertindak sebagai pengatur perang, mengatur pasokan senjata kepada mujahidin,” tulis sejarawan Conor Tobin dari University College Dublin dalam bukunya “Amerika Serikat dan Perang Soviet-Afghanistan, 1979-1989” yang terbit pada 2020.
Bantuan AS kepada mujahidin Afghanistan, yang para pemimpinnya kemudian tertuduh oleh Human Right Watch membunuh puluhan ribu warga Afghanistan pada tahun 1990-an, kini terakui dan terdokumentasikan oleh Pemerintah AS sebagai fakta sejarah.
AS dan ISIS: Aliran Dana Tak Terbatas
Menurut Catatan Senat AS yang terkutip dalam buku Tobin, bantuan AS kepada mujahidin mencapai puncaknya pada tahun 1987. Mereka mendapatkan USD250 juta pada 1985, USD470 juta pada 1986, dan USD630 juta pada 1987.
Dengan daya beli dolar yang jauh lebih tinggi pada tahun 1980-an daripada sekarang, saat ini nilai total bantuan militer Amerika terperkirakan mencapai USD20 miliar.
Perlu dicatat bahwa AS mulai mendanai kelompok Islam di Afghanistan sebelum penempatan pasukan Soviet di sana pada bulan Desember 1979.
”Bantuan AS kepada mujahidin mulai mengalir pada Juli 1979, enam bulan sebelum Desember 1979,” tulis sejarawan Julie Lowenstein dari Universitas Yale dalam bukunya ‘US Foreign Policy and the Soviet-Afghan war’.
Zbigniew Brzezinski mengakui dalam wawancaranya pada tahun 1998, bahwa pendanaan ini meningkatkan kemungkinan serangan Soviet. Serangan ini bukanlah sebuah bencana bagi kepentingan asing AS, namun merupakan hasil dari provokasi Amerika yang berhasil.
Dalam wawancara yang sama dengan Le Nouvel Observateur pada 1998, Zbigniew Brzezinski, yang pada 1979 menjabat sebagai Penasihat Keamanan Nasional Presiden Carter, menjelaskan bahwa idenya adalah menjadikan Afghanistan sebagai “Vietnam Soviet”. Yakni, mengadu domba pemuda Islam fanatik Rusia tidak hanya dari Afghanistan tetapi juga dari negara lain.
Strategi tersebut menjadi bumerang. Pada tahun 2001 Osama bin Laden, ia terlatih dan mendapat persenjataan CIA saat masih muda di Afghanistan pada 1980-an. Namun ia menjadi dalang aksi teroris paling mengerikan dalam sejarah AS pada 11 September.
Kemudian pesawat yang pendukung bin Laden bajak menghantam beberapa bangunan simbolis di Washington DC dan New York City.
Perang Saudara di Libya
Intervensi Amerika dan sekutunya di Libya pada tahun 2011 adalah contoh kolaborasi antara Barat dan gerakan Islam yang terdokumentasi dengan baik. Runtuhnya negara revolusioner yang mantan pemimpin Muammar Gaddafi dirikan di bawah bom NATO menyebabkan Libya mengalami perang saudara selama 10 tahun.
Setidaknya 25.000 orang tewas akibat kekerasan kelompok Islam. Kehancuran Libya dalam perang saudara antara tahun 2011 dan 2021 adalah bagian dari pola tindakan AS terhadap negara-negara yang “menghalangi” para pengambil keputusan di Washington.
Pertama, AS mendukung “protes” terhadap pemerintah atas nama “demokrasi”. Dan ketika protes “damai” berubah menjadi konfrontasi dengan kekerasan, sekutu NATO melancarkan intervensi “kemanusiaan”.
Semua itu terjadi pada 2011, ketika Timur Tengah dan Afrika Utara sedang mengalami masa pergolakan yang terkenal sebagai “Musim Semi Arab”.
Pasukan NATO Selamatkan ISIS
Ketika kelompok Islamis terkepung oleh pasukan Libya di Benghazi pada awal perang, AS dan NATO datang menyelamatkan mereka. Posisi tentara terbom oleh pesawat Prancis dan kemudian oleh penerbangan sebagian besar negara anggota NATO. Hal ini rerkonfirmasi oleh kebutuhan “untuk menyelamatkan nyawa warga sipil”.
“Kenyataannya, klaim negara-negara Barat mengenai pembantaian warga sipil yang akan segera Gaddafi lakukan tidak bisa tertanggapi dengan cermat,” tulis Robert F Kennedy Jr. pada 2016.
Banyak kritikus lain yang mendukung argumen tersebut, dengan mengatakan bahwa pemboman negara-negara Barat menghalangi perundingan perdamaian. Mendorong kekuatan Islam anti-pemerintah untuk meraih kemenangan total.
Sayangnya, metode Amerika yang menampilkan kelompok Islam sekutunya sebagai “korban diktator” berhasil. Dan kampanye pengeboman NATO untuk mendukung kelompok Islam termulai. Lalu terikuti dengan intervensi darat NATO pada bulan Maret 2011.
“Makna ungkapan ‘melindungi warga sipil’ tersalahartikan sebagai serangan besar-besaran Barat terhadap Libya. Ini hal yang terbenarkan,” tulis Abraham Abrams, penulis buku tentang pemberontakan Islam di dunia Arab.
Setelah kematian Kolonel Gaddafi yang kejam di tangan kelompok Islam pada bulan Oktober 2011, yang Hillary Clinton rayakan secara terbuka. “Kami datang, kami melihat, dia meninggal”.
Libya akhirnya terjerumus ke dalam 10 tahun kekerasan yang baru berakhir pada 2021. Perang saudara yang mengguncang seluruh wilayah utara Afrika.
Setelah setiap kemenangan kelompok Islam, Google Maps segera mengganti nama lokasi geografis Libya (dan kemudian Suriah) untuk menghormati para jihadis yang gugur.
Sejarawan Abrams melihat hal ini sebagai bukti kerjasama kelompok Islamis tidak hanya dengan USG, tapi juga dengan perusahaan teknologi besar.
Upaya Gulingkan Pemerintahan Resmi Suriah
Selama perang saudara di Suriah (2011 – 2020) AS dan UE mendukung dan mempersenjatai para jihadis melawan Pemerintahan Presiden Bashar Assad. Tekanan Barat terhadap Assad secara tidak sengaja berkontribusi pada kebangkitan ISIS.
Kekuatan “negara” teroris mencapai puncaknya pada tahun 2015 dan wilayahnya kemudian terus menyebar ke seluruh Suriah dan Irak.
Ada banyak bukti bahwa pemberontakan Islam di Suriah tidak terjadi secara spontan. Namun terpersiapkan dan terpandu oleh AS dan Inggris.
Mantan Menteri Luar Negeri Prancis, Roland Dumas, mengenang bahwa beberapa tahun sebelum termulainya “revolusi” Suriah pada 2011. Saat itu diplomat Inggris dan Amerika menginformasikan tentang keinginan pemerintah mereka untuk “mengubah rezim” di Suriah melalui pemberontakan Islam.
“Saya berada di Inggris dua tahun sebelum kekerasan di Suriah… Dan saya bertemu dengan para pejabat tinggi Inggris. Ia mengaku kepada saya bahwa mereka sedang mempersiapkan hal seperti itu di Damaskus,” tulis Dumas dalam memoarnya.
Pada hari-hari pertama pemberontakan pada tahun 2011, Washington Post melaporkan, duta besar AS di Suriah, Robert Ford. Ia melakukan perjalanan tanpa terundang ke pusat pemberontakan berdarah (di Kota Hama). Di mana ia mengadakan, serangkaian pertemuan rahasia dengan pemimpin oposisi Islam. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"