KONTEKS.CO.ID – Paus Fransiskus untuk pertama kalinya memperbolehkan para imam Katolik atau gereja untuk memberkati pasangan sesama jenis. Ini adalah sebuah kebalikan dari pernyataan sebelumnya.
Saran Paus Fransiskus tersampaikan dalam sebuah surat kepada para pengkritiknya yang paling keras di kalangan Katolik.
Tulisan ini menanggapi surat dari lima kardinal konservatif dengan pertanyaan formal –yang disebut “dubia” (bahasa Latin untuk “keraguan”)– yang merupakan permintaan resmi untuk jawaban ya atau tidak dari Paus yang sedang menjabat mengenai cara dia menjalankan Gereja.
Para kardinal, Walter Brandmuller, Raymond Leo Burke, Juan Sandoval Iniguez, Robert Sarah dan Joseph Zen Ze-kiun, pertama kali mengirimkan surat tersebut kepada Paus Fransiskus pada 10 Juli 2023.
Surat tersebut berfokus pada pertemuan para uskup pada bulan Oktober mendatang. Mereka menanyakan dampak apa yang dapat tertimbulkan mengenai ajaran gereja.
Surat juga mencakup pertanyaan tentang niat Paus untuk memberkati hubungan sesama jenis, dan apakah ia bermaksud membuka pintu bagi imam perempuan melalui penahbisan.
Tidak puas dengan tanggapan awal Paus, menurut sebuah posting blog oleh Kardinal Raymond Burke dari Amerika, kelima kardinal tersebut menulis ulang surat “dubia”. Lalu mengirimkannya lagi pada 21 Agustus dengan mengutip “gawatnya masalah ini”, menurut Burke, mengutip CNN, Selasa 3 Oktober 2023.
Vatikan kemudian mengeluarkan surat dalam bahasa Spanyol tertanggal 25 September yang ditandatangani oleh Kardinal Victor Manuel Fernández, Kepala Doktrin Baru Vatikan. Tanggapannya termasuk jawaban Paus Fransiskus terhadap dubia yang ditandatangani “Francis”.
Mengenai masalah perkawinan homoseksual, Paus Fransiskus menegaskan kembali bahwa gereja hanya mengakui pernikahan sebagai perkawinan antara seorang pria dan seorang perempuan. “Namun membuka pintu bagi pemberkatan bagi individu yang melakukan perkawinan sesama jenis,” kata surat itu.
“Ketika Anda meminta berkat, Anda mengungkapkan permohonan pertolongan dari Tuhan, doa untuk dapat hidup lebih baik, kepercayaan pada seorang ayah yang dapat membantu kita hidup lebih baik,” tulis Paus seraya menambahkan, seorang pendeta harus menunjukkannya.
“Kehati-hatian pastoral harus cukup memperhatikan apakah ada bentuk pemberkatan, yang terminta oleh satu atau beberapa orang, yang tidak menyampaikan konsep pernikahan yang salah,” katanya menegaskan.
CNN melaporkan, tanggapan Paus tampaknya bertentangan dengan pernyataannya pada bulan Maret. Saat itu ia mengatakan, Gereja tidak dapat memberkati hubungan sesama jenis, karena mereka “tidak dapat memberkati dosa”.
Pernyataan Paus Fransiskus dan Sikap Gereja Jerman
Perkembangan terakhir tampaknya merujuk pada keputusan yang Gereja Jerman buat pada bulan Maret dan terlaksanakan pada bulan Agustus. Di mana hubungan sesama jenis mendapat restu Katolik dari beberapa imam di Kota Cologne.
Mengenai masalah pentahbisan perempuan, Paus dengan jelas menegaskan bahwa dia menjunjung tinggi kata-kata mendiang Paus Yohanes Paulus II. Pada tahun 1994, dia mengatakan, Gereja Katolik tidak mempunyai wewenang untuk menahbiskan perempuan. Namun masalah tersebut perlu tertanggapi, terpelajari untuk mendidik mereka yang meragukannya, kata surat itu.
“Jika tidak terpahami dan konsekuensi praktis dari pembedaan ini tidak terambil, akan sulit untuk menerima bahwa imamat hanya terperuntukkan bagi laki-laki. Dan kita tidak akan dapat mengakui hak-hak perempuan atau perlunya mereka untuk berpartisipasi, dalam berbagai cara, dalam kepemimpinan Gereja,” tambah Paus.
Mengenai dampak pertemuan para uskup Katolik yang akan datang terhadap ajaran gereja, Paus Fransiskus memberikan pernyataan yang lebih samar-samar. Ia menulis, “Baik hierarki, maupun seluruh Umat Allah dengan cara dan tingkat yang berbeda. Ini dapat membuat suara mereka terdengar dan merasa seperti bagian dari perjalanan Gereja. Dalam pengertian ini kita dapat mengatakan bahwa ya, sinodalitas, sebagai gaya dan dinamisme, merupakan dimensi penting dalam kehidupan Gereja.”
Ia juga menambahkan, upaya untuk mensakralkan atau memaksakan metodologi sinode tertentu yang menyenangkan satu kelompok. Lalu mengubahnya menjadi sebuah norma dan jalur yang wajib bagi semua orang. Hal ini hanya akan mengarah pada ‘pembekuan’ jalur sinode.
Sinode yang akan datang di Roma telah tertanggapi dengan skeptis oleh kelompok konservatif Gereja. Mereka menyatakan keprihatinannya bahwa perempuan akan memiliki suara, dan bahwa ajaran Gereja tidak terlaksanakan melalui konsensus. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"