KONTEKS.CO.ID – Sengketa Laut China Selatan kembali memanas. Filipina sedang menjajaki opsi hukum terhadap China atas dugaan penghancuran terumbu karang di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Filipina di Laut Cina Selatan yang mereka sengketakan.
Manila menuduh Beijing menyebabkan kerusakan lingkungan di Terumbu Karang Iroquois di Kepulauan Spratly. Saat ini mereka sedang menilai tingkat kerusakannya.
Gesekan Manila dan Beijing semakin meningkat tahun ini terkait Laut Cina Selatan. Manila menuduh penjaga pantai China melakukan “manuver berbahaya” di sekitar Second Thomas Shoal, yang dikenal sebagai Ayungin Shoal di Filipina.
Beijing sendiri mengklaim hampir seluruh Laut Cina Selatan di bawah sembilan garis putus-putusnya yang kontroversial. Mereka bahkan telah membangun pulau-pulau buatan di atas singkapan batu dan pulau-pulau kecil. Beberapa di antaranya telah menjadi pos-pos militer.
Mereka juga telah mengerahkan penjaga pantai, armada penangkapan ikan, dan milisi maritimnya ke perairan yang disengketakan. Wilayah ini juga terklaim seluruhnya atau sebagian oleh Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia, Taiwan dan Vietnam.
Sengketa Laut China Selatan
Pada tahun 2012, setelah kebuntuan yang berkepanjangan, Beijing mengambil alih Scarborough Shoal dari Filipina. Manila menjawabnya dengan mengambil tindakan hukum ke Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) di Den Haag.
Pengadilan memenangkan Filipina pada tahun 2016, dengan mengatakan sembilan garis putus-putus –dan klaim China– tidak memiliki dasar hukum. Namun Beijing mengabaikan keputusan tersebut.
“Kini Filipina sedang mengevaluasi manfaat dari tindakan hukum baru. Termasuk di Pengadilan Arbitrase Permanen, atas kerusakan lingkungan,” kata Jaksa Agung Menardo Guevarra, melansir Al Jazeera, Jumat 22 September 2023.
Departemen Luar Negeri mengatakan akan mendukung keputusan kantor Guevarra dan tindakan apa pun yang terputuskan.
Juru bicara Teresita Daza mencatat Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) mewajibkan negara untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut.
China adalah salah satu pihak dalam UNCLOS. Berdasarkan undang-undang tersebut, ZEE suatu negara terbentang 200 mil laut (370 km) dari pantainya, dan Terumbu Karang Iroquois berjarak sekitar 128 mil laut (237 km) dari Provinsi Palawan, Filipina.
“Sebagaimana diklarifikasi dalam putusan arbitrase tahun 2016 tentang Laut Cina Selatan, kewajiban ini berlaku di semua wilayah maritim, baik di dalam yurisdiksi nasional suatu negara maupun di luarnya,” kata Daza seperti dikutip Kantor Berita Filipina.
“Oleh karena itu, negara-negara yang memasuki ZEE dan zona maritim Filipina juga berkewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut kita,” tambahnya.
China Rusak Perairan
Penjaga Pantai Filipina sebelumnya mengatakan, mereka telah mencatat kerusakan “luas” tidak hanya di dasar laut di sekitar Iroquois Reef, sebuah wilayah yang kaya akan cadangan minyak dan gas. Namun juga di Sabina Shoal, yang terletak sekitar 72 mil laut (133 km) barat laut Palawan.
Penjaga pantai mengatakan, survei baru-baru ini menunjukkan ekosistem laut “tampak tidak bernyawa”. Ini akibat aktivitas penangkapan ikan China yang “ilegal dan merusak”.
Ketika tertanyakan tentang tuduhan tersebut pada konferensi pers di Beijing, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Mao Ning menolak tuduhan tersebut.
“Kami mendesak pihak terkait di Filipina untuk berhenti menciptakan drama politik dari fiksi,” katanya kepada wartawan.
Dia menegaskan, Filipina harus menarik Sierra Madre, kapal Manila yang berlabuh di Second Thomas Shoal hampir 25 tahun lalu untuk memperkuat klaimnya atas wilayah perairan tersebut. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"