KONTEKS.CO.ID – Tren kuliner di Jepang menghadirkan menu serba-serangga. Mulai dari kari jangkrik dan sashimi ulat sutera, kemudian ditutup dengan sari kutu air.
Ternyata tren kuliner serangga di Jepang bukan terjadi saat ini saja. Warga Jepang sejak dulu sudah mengukai menu berbau serangga.
Yamamoto, salah satunya. Pekerja kantoran berusia 26 tahun yang berasal dari prefektur barat Hyogo ini adalah salah satu dari banyak konsumen di seluruh dunia yang tertarik pada entomophagy atau memakan serangga.
Alasannya, serangga perlahan menjadi sumber makanan yang lebih layak.
Sebagai seorang anak, Yamamoto mengatakan dia kadang-kadang ngemil belalang yang diolesi kecap. Di Tokyo, dirinya menikmati masakan serangga di kafe Take-Noko, yang mencakup semua hal tentang buggy.
“Menyenangkan untuk memilih dari beragam hidangan,” kata Yamamoto di kafe lantai dua yang nyaman, dikelilingi seni serangga dan terarium kumbang, semut, dan kecoak yang berkeliaran.
“Semuanya enak. Secara khusus, sari kutu air cukup menyegarkan dan lezat, seperti apel hijau,” ungkapknya, dikutip CNN, Kamis 27 Juli 2023.
Tren kuliner di Jepang: Entomophagy
Entomophagy mulai dianggap serius secara global setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa menganggap serangga sebagai sumber protein berkelanjutan untuk memberi makan populasi global yang diperkirakan membengkak menjadi 9,7 miliar pada 2050.
Dampak industri peternakan terhadap perubahan iklim, ditambah dengan masalah ketahanan pangan global akibat cuaca ekstrem dan konflik, juga telah meningkatkan minat terhadap nutrisi ekonomis berkualitas tinggi yang disediakan serangga.
Sementara beberapa konsumen menganggap memakan serangga itu menjijikkan, Jepang memiliki sejarah kuliner yang kaya akan serangga sebagai makanan.
“Belalang, ulat sutera, dan tawon secara tradisional dimakan di daerah di mana daging dan ikan langka, sebuah praktik yang dilakukan di tengah kekurangan pangan selama dan setelah Perang Dunia II,” kata manajer Take-Noko Michiko Miura.
“Baru-baru ini, ada kemajuan dalam beternak seperti jangkrik dan ulat bambu untuk makanan, jadi kemungkinan untuk menggunakan serangga sebagai bahan sangat berkembang,” tambahnya.
Beberapa perusahaan, termasuk merek roti nasional Pasco, telah menjual kue buatan dan makanan ringan dari tepung jangkrik. Pembuat makanan olahan Nichirei dan perusahaan telekomunikasi Nippon Telegraph Telepon telah berinvestasi dalam usaha serangga pada tahun lalu.
Istilah “jangkrik” juga mulai menjadi tren di media Jepang baru-baru ini setelah laporan, bahwa bubuk serangga digunakan untuk makan siang dan makanan ringan di sekolah.
Minat Entomophagy Makin Tinggi
Minat konsumen juga meluas ke Take-Noko, yang menurut manajer Miura sering penuh dipesan pada akhir pekan.
Karinya adalah jangkrik bertabur dalam bentuk bakso dan hiasan kering. “Sashimi” yang lembut adalah selubung sisa ulat sutera, dan sarinya diresapi dengan ekstrak kutu air dan atasnya dengan serangga utuh, dikatakan rasanya seperti udang.
Restoran ini adalah gagasan dari Takeo Saito yang mendirikan perusahaan bernama Takeo Inc sembilan tahun yang lalu. Mereka telah mengembangkannya untuk memasukkan bisnis makanan kemasan yang menawarkan lebih dari 60 jenis suguhan arthropoda, dari kalajengking hingga tarantula.
“Tujuan kami bukan agar serangga menjadi sesuatu yang terpisah, tetapi untuk dinikmati di meja yang sama dengan sayuran, ikan, dan daging,” pungkas Saito. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"