KONTEKS.CO.ID – Efek samping Vaksin COVID-19 AstraZeneca terungkap ke permukaan. Pengakuan mengejutkan perusahaan vaksin tersebut untuk pertama kalinya terungkap melalui dokumen pengadilan.
Dalam dokumen, AstraZeneca mengakui vaksin COVID-19 milik mereka dapat menyebabkan efek samping yang jarang terjadi. Kasus ni dapat membuka jalan bagi pembayaran kompensasi hukum hingga jutaan poundsterling.
Raksasa farmasi tersebut tengah digugat dalam gugatan class action atas klaim vaksinnya, yang terkembangkan bersama Universitas Oxford, menyebabkan kematian dan cedera serius dalam puluhan kasus.
Para pengacara berpendapat bahwa vaksin tersebut menimbulkan efek samping yang berdampak buruk pada sejumlah kecil keluarga.
Laman Telegraph, Rabu 1 Mei 2024, melaporkan, kasus pertama terajukan tahun lalu oleh Jamie Scott, ayah dua anak, yang mengalami cedera otak permanen setelah mengalami pembekuan darah dan pendarahan di otak. Ini membuatnya tidak dapat bekerja setelah ia menerima vaksin pada April 2021.
Rumah sakit menelepon istrinya tiga kali untuk memberi tahu bahwa suaminya akan meninggal.
AstraZeneca menentang klaim tersebut tetapi telah menerima, dalam dokumen hukum yang diserahkan ke Pengadilan Tinggi pada bulan Februari. Bahwa vaksin COVID-nya dapat, dalam kasus yang sangat jarang, menyebabkan TTS.
TTS –yang merupakan singkatan dari Thrombosis with Thrombocytopenia Syndrome– menyebabkan orang mengalami pembekuan darah dan jumlah trombosit darah rendah.
51 Orang Terdampak Efek Samping Vaksin COVID-19 AstraZeneca
Lima puluh satu (51) kasus telah terajukan ke Pengadilan Tinggi London, dengan korban dan keluarga yang berduka meminta ganti rugi yang terperkirakan bernilai hingga Rp2 triliun lebih.
Pengakuan AstraZeneca –yang dibuat sebagai pembelaan hukum atas tuntutan Scott di Pengadilan Tinggi– terjadi setelah perselisihan hukum yang intens.
Hal ini dapat menghasilkan pembayaran jika perusahaan obat tersebut menerima bahwa vaksin tersebut adalah penyebab penyakit serius dan kematian dalam kasus hukum tertentu. Pemerintah telah berjanji untuk menanggung tagihan hukum AstraZeneca.
Dalam surat tanggapan yang dikirimkan pada Mei 2023, AstraZeneca mengatakan kepada pengacara Scott bahwa mereka tidak menerima bahwa TTS tersebabkan oleh vaksin pada tingkat generik.
Namun dalam dokumen hukum yang terserahkan ke Pengadilan Tinggi pada bulan Februari, AstraZeneca menyatakan, “Terakui bahwa vaksin AZ, dalam kasus yang sangat jarang, dapat menyebabkan TTS. Mekanisme penyebabnya tidak terketahui.”
“Lebih jauh lagi, TTS juga bisa terjadi tanpa adanya vaksin AZ (atau vaksin apapun). Penyebab dalam setiap kasus individual akan bergantung pada bukti ahli,” paparnya lagi.
Vaksi AstraZeneca-Oxford Dianggap Cacat
Para pengacara berpendapat bahwa vaksin AstraZeneca-Oxford “cacat” dan kemanjurannya sangat terlebih-lebihkan. Klaim yang jelas terbantah keras oleh AstraZeneca.
Para ilmuwan pertama kali mengidentifikasi hubungan antara vaksin dan penyakit baru yang tersebut trombositopenia dan trombosis imun yang terinduksi vaksin (VITT) pada awal Maret 2021. Inin tak lama setelah peluncuran vaksin COVID-19 termulai.
Pengacara penggugat berpendapat bahwa VITT adalah bagian dari TTS, meskipun AstraZeneca tampaknya tidak mengakui istilah tersebut.
Pemerintah telah memberikan ganti rugi kepada AstraZeneca terhadap tindakan hukum apa pun, Namun sejauh ini menolak untuk melakukan intervensi.
Kate Scott, istri Scott, mengatakan kepada Telegraph, “Dunia medis telah lama mengakui bahwa VITT tersebabkan oleh vaksin. Hanya AstraZeneca yang mempertanyakan apakah kondisi Jamie terpicu oleh suntikan tersebut.”
“Dibutuhkan waktu tiga tahun untuk menerima pengakuan ini. Memang ada kemajuan, tapi kami ingin melihat lebih banyak lagi dari mereka dan pemerintah. Sudah waktunya segala sesuatunya bergerak lebih cepat,” tambahnya.
“Saya berharap pengakuan mereka berarti kita bisa menyelesaikan masalah ini lebih cepat. Kami membutuhkan permintaan maaf, kompensasi yang adil untuk keluarga kami dan keluarga lain yang terkena dampak. Kami memiliki kebenaran di pihak kami, dan kami tidak akan menyerah,” kata Kate Scoot.
Korban Mengajukan Tuntutan Hukum
Sarah Moore, mitra di firma hukum Leigh Day, yang mengajukan tuntutan hukum tersebut, mengatakan, AstraZeneca membutuhkan waktu satu tahun untuk secara resmi mengakui bahwa vaksin mereka dapat menyebabkan pembekuan darah parah. Padahal fakta ini telah terterima secara luas oleh para ahli klinis masyarakat sejak akhir tahun 2021.
“Dalam konteks ini, tampaknya AZ, pemerintah dan pengacara mereka lebih tertarik untuk memainkan permainan strategis dan mengeluarkan biaya hukum. Daripada terlibat secara serius dalam dampak buruk yang timbul oleh vaksin AZ mereka terhadap kehidupan klien kami,” katanya lagi.
Dalam sebuah pernyataan, AstraZeneca mengatakan, “Simpati kami tertujukan kepada siapa saja yang kehilangan orang yang tercintai atau melaporkan masalah kesehatan. Keselamatan pasien adalah prioritas utama kami, dan pihak berwenang mempunyai standar yang jelas dan ketat. Ini untuk memastikan penggunaan semua obat secara aman, termasuk vaksin.”
“Dari bukti uji klinis dan data dunia nyata, vaksin AstraZeneca-Oxford terus terbukti memiliki profil keamanan yang dapat terterima dan regulator di seluruh dunia. Secara konsisten menyatakan manfaat vaksinasi lebih besar daripada risiko potensi sampingan yang sangat jarang terjadi,” katanya.
Perusahaan menyatakan informasi produk terkait vaksin tersebut telah terperbarui pada bulan April 2021, dengan persetujuan regulator Inggris. Mereka memasukkan kalimat dalam kemasan: “kemungkinan bahwa vaksin AstraZeneca-Oxford mampu, dalam kasus yang sangat jarang terjadi, menjadi pemicu penyakit TTS.”
Perusahaan tidak mengakui klaim bahwa mereka telah melakukan perubahan bahwa vaksin tersebut dapat menyebabkan TTS dalam dokumen pengadilan.
Studi independen menunjukkan vaksin AstraZeneca sangat efektif dalam mengatasi pandemi ini, menyelamatkan lebih dari enam juta nyawa secara global pada tahun pertama peluncurannya.
Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan vaksin tersebut “aman dan efektif untuk semua individu berusia 18 tahun ke atas”. Dan efek buruk yang mendorong tindakan hukum “sangat jarang terjadi”. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"