KONTEKS.CO.ID – Penjelasan nyamuk Wolbachia dari pakar UGM ada dalam tulisan ini. Nyamuk ini tengah menuai pro kontra di Indonesia karena masyarakat mempertanyakan dampak kesehatannya.
Seperti yang publik ketahui, World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta mempunyai rencana menebar jutaan telur nyamuk Wolbachia di Kabupaten Buleleng dan Kota Denpasar, Bali.
Program ini guna mengantisipasi penyebaran demam berdarah dengue (DBD) di masa musim penghujan yang sudah di pelupuk.
Namun rencana pelepasan telur nyamuk Wolbachia tersebut tertunda karena terjadi pro-kontra di tengah masyarakat. Mereka khawatir akan terjadi dampak kesehatan pada tubuh manusia akibat pelepasan nyamuk Wolbachia.
Penjelasan Nyamuk Wolbachia: Ini Fakta Sebenarnya
Menanggapi penolakan masyarakat Bali, Peneliti Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus anggota peneliti WMP Yogyakarta, dr Riris Andono Ahmad, mengatakan, kontroversi tersebut adalah wajar.
Ia beralasan, ketika pelepasan telur nyamuk Wolbachia di beberapa lokasi di Yogyakarta sebelumnya juga sempat melahirkan gejolak. Tapi setelah ada sosialisasi dan mendapat dukungan dari pemerintah kabupaten dan kota, akhirnya program bisa terlaksana.
Riris mengatakan, pelepasaan jutaan telur nyamuk Wolbachia di populasi nyamuk Aedes aegypti berpotensi menekan penularan virus dengue atau DBD. Sebab, melepaskan nyamuk ber-Wolbachia jantan dan betina dalam waktu sekitar 6 bulan agar sebagian besar nyamuk di populasi memiliki Wolbachia.
“Diharapkan nantinya dapat menurunkan penularan virus dengue” katanya.
Lebih jauh ia menjelaskan, saat nyamuk jantan ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk betina tanpa Wolbachia, maka telurnya tidak akan menetas. Namun bila nyamuk betina ber-Wolbachia kawin dengan jantan tidak ber-Wolbachia seluruh telurnya akan menetas.
Selanjutnya bila nyamuk betina ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk jantan ber-Wolbachia, maka keturunannya semua akan menetas dan mengandung Wolbachia.
Hasil Riset Belasan Tahun Tentang Wolbachia
Ia dengan tegas mengatakan nyamuk Wolbachia tidak menginfeksi manusia. Selain itu, tidak terjadi transmisi horizontal terhadap spesies lain bahkan Wolbachia tidak mencemari lingkungan biotik dan abiotik.
Temuan ini berdasarkan penelitian teknologi Wolbachia sudah berlangsung di Yogyakarta selama 12 tahun sejak 2011 lalu. Dimulai dari tahapan penelitian fase kelayakan dan keamanan (2011-2012), fase pelepasan skala terbatas (2013-2015), fase pelepasan skala luas (2016-2020), dan fase implementasi (2021-2022).
Di dunia, sebut Riris, studi pertama Aplikasi Wolbachia untuk Eliminasi Dengue (AWED) terlakukan di Yogyakarta dengan desain Cluster Randomized Controlled Trial (CRCT).
Dari hasil studi AWED menunjukkan bahwa nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia mampu menurunkan kasus dengue sebesar 77,1% dan menurunkan rawat inap karena dengue sebesar 86%.
Bahkan dari hasil studi tersebut dan hasil di beberapa negara lain yang menerapkan teknologi WMP, teknologi Wolbachia untuk pengendalian dengue telah WHO Vector Control Advisory Group rekomendasikan sejak 2021.
Terkait dukungan permintaan hasil kajian dan rekomendasi Kemenkes terkait pelepasan telur nyamuk Wolbachia ini, Riris mengatakan, secara paralel Kementerian Kesehatan tengah menyusun strategi nasional penanggulangan dengue, dan teknologi Wolbachia merupakan bagian dari inovasi program pengendalian dengue.
“Kementerian Kesehatan selanjutnya merencanakan implementasi secara bertahap,” ujarnya.
Cara Kerja Nyamuk Wolbachia
Seperti terketahui, Wolbachia adalah bakteri alami dari 6 dari 10 jenis serangga. Wolbachia dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti dapat menurunkan replikasi virus dengue. Sehingga dapat mengurangi kapasitas nyamuk tersebut sebagai vektor dengue.
Mekanisme kerja yang utama adalah melalui kompetisi makanan antara virus dan bakteri. Dengan sedikitnya makanan yang bisa menghidupi virus, maka virus tidak dapat berkembang biak.
Melalui mekanisme tersebut, Wolbachia berpotensi menurunkan replikasi virus dengue di tubuh nyamuk. Sebab nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia bukan organisme hasil modifikasi genetik.
Sebab mengingat bakteri Wolbachia yang termasukkan ke dalam tubuh Aedes aegypti identik dengan Wolbachia yang ada di inang aslinya. Namanya Drosophila melanogaster.
“Perlu terketahui nyamuk Aedes Aegypti berwolbachia bukan hasil modifikasi genetik,” katanya.
Dari sisi aspek keamanan wolbachia, ujarnya, hasil analisis risiko yang terinisiasi oleh Kemenristekdikti dan Balitbangkes, Kemenkes, pada 2016 dengan membentuk 20 orang anggota tim independen dari berbagai kepakaran menyebutkan bahwa nyamuk Wolbachia memiliki tingkat risiko rendah bagi manusia dan lingkungannya.
“Kesimpulan mereka bahwa pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia masuk pada risiko sangat rendah, dimana dalam 30 tahun ke depan peluang peningkatan bahaya dapat diabaikan,” pungkasnya. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"