KONTEKS.CO.ID – Hujan buatan Jakarta ternyata bukan barang baru di Indonesia. Ini bisa terjadi lantaran dukungan teknologi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC).
Melalui Teknologi Modifikasi Cuaca, maka hujan buatan Jakarta atau di daerah lain sangat mungkin terjadi.
Merunut sejarahnya, Teknologi Modifikasi Cuaca sudah ada di Indonesia sejak tahun 1977. Mulai tahun itu, proyek yang dulunya terkenal dengan sebutan hujan buatan itu sudah mulai tergarap.
Ide hujan buatan muncul saat Presiden Soeharto melihat pertanian di Thailand cukup maju. Setelah mengamati, majunya pertanian mereka karena suplai kebutuhan air pertanian terbantu dengan modifikasi cuaca.
“Berawal dari sana, Presiden Soeharto mengutus Pak Habibie untuk mempelajari TMC ini. kemudian tahun 1977 mulailah proyek percobaan hujan buatan. Saat itu masih ada asistensi dari Thailand,” kata Koordinator Laboratorium Pengelola Teknologi Modifikasi Cuaca Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Budi Harsoyo, mengutip laman BRIN, Senin 28 Agustus 2023.
Hujan Buatan Jakarta Hasil TMC dari Thailand
Lebih lanjut Budi menjelaskan, awalnya TMC memang hasil pembelajaran di Thailand. Kemudian aplikasinya di Indonesia fokus mendukung sektor pertanian dengan cara mengisi waduk-waduk strategis. Baik untuk kebutuhan PLTA atau irigasi.
Setelah melakukan percobaan hujan buatan tahun 1977, satu tahun kemudian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berdiri. Lalu proyek hujan buatan saat itu berada pada Direktorat Pengembangan Kekayaan Alam (PKA).
Tahun 1985 berdiri UPT Hujan Buatan berdasarkan SK Menristek/Ka BPPT No 342/KA/BPPT/XII/1985. Lalu tahun 2015, mulai dikenal istilah Teknologi Modifikasi Cuaca sesuai Peraturan Kepala BPPT No 10 Tahun 2015. Ini mengubah nomenklatur UPT Hujan Buatan menjadi Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca.
“Tahun 2021 setelah terintegrasi ke BRIN, kini pelayanan TMC berada di Laboratorium Pengelolaan TMC. Ini bawah Direktorat Pengelolaan Laboratorium, Fasilitas Riset dan Kawasan Sains dan Teknologi,” papar Harsoyo.
Dalam satu dekade terakhir, frekuensi bencana hidrometeorologi semakin meningkat, baik kebakaran hutan dan lahan, longsor, dan banjir. Sehingga pengaplikasian TMC berkembang untuk memitigasi bencana.
“Saat ini TMC paling banyak dan rutin digunakan untuk kebutuhan kebakaran hutan dan lahan yang hampir setiap tahun dilakukan. Bahkan Thailand yang dulu kita pelajari, sekarang justru belajar operasi TMC dari Indonesia terutama untuk kebutuhan mitigasi bencana, karena memang kita ini berkembang dalam operasionalnya,” ungkap Budi Harsoyo.
Tren permintaan TMC kemudian meluas sesuai kebutuhan, seperti penanggulangan kebakaran hutan dan pembasahan lahan gambut. Lalu penangulangan banjir dan pengurangan curah hujan ekstrem, hingga pengamanan infrastruktur dan acara besar kenegaraan.
Pertama kali, operasi TMC yang bertujuan untuk mengurangi curah hujan diaplikasikan untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan SEA Games XXVI Palembang 2011. Kemudian untuk penanggulangan banjir Jakarta tahun 2013, 2014, dan 2020, Moto GP Mandalika 2022, hingga yang terakhir KTT G20 2022. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"