KONTEKS.CO.ID – Stasiun Gambir tercatat dalam sejarah sebagai stasiun kereta api yang menjadi andalan masyarakat di Pulau Jawa, terutama Jakarta yang dulu dikenal sebagai Batavia.
Stasiun Gambir adalah stasiun kereta api utama di Gambir, Jakarta Pusat. Stasiun ini terletak di sisi timur Lapangan Merdeka dan di sisi barat markas Gerakan Pramuka Indonesia dan Gereja Immanuel.
Melansir laman Wikipedia, pada masa Hindia Belanda, nama stasiun ini adalah Stasiun Weltevreden, yang kemudian berganti nama menjadi Stasiun Batavia Koningsplein setelah dilakukan perbaikan pada tahun 1930-an.
Di era 1950-an, nama stasiun ini kembali berubah menjadi Stasiun Gambir. Lalu dilakukan perbaikan besar-besaran menjadi stasiun kereta api layang pada 1988 hingga 1992.
Saat ini Stasiun Gambir berfungsi sebagai terminal bagi sebagian besar KA antarkota yang beroperasi di seluruh Pulau Jawa. Salah satu jalur komuter utama Jakarta, KRL Commuterline Bogor Line atau Bekasi melewati stasiun ini, tapi tidak berhenti di sini sejak 2012.
Namun, ada rencana untuk mengaktifkan kembali stasiun tersebut sebagai perhentian komuter, karena tingginya volume penumpang yang naik dan keluar dari stasiun khusus komuter tetangga Gambir (stasiun Gondangdia dan Juanda).
Semula, hanya KA eksekutif dan bisnis yang menggunakan Stasiun Gambir. Sementara semua KA ekonomi dan beberapa KA eksekutif dan bisnis menggunakan stasiun KA Pasar Senen.
Sejak 2016, norma tersebut berubah ketika KAI memperkenalkan tipe baru gerbong kelas ekonomi di kereta api kelas atas, misalnya Argo Parahyangan, sejalan dengan rencana penghapusan kereta kelas bisnis secara bertahap.
Stasiun Permukaan Tanah (1884-1992)
Stasiun ini terletak di ruas pertama jalur kereta api Batavia–Buitenzorg yang diresmikan oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), yaitu ruas Batavia–Weltevreden.
Pada pembukaannya, jalur tersebut membentang dari dekat Pelabuhan Sunda Kelapa lama dan selatan ke tempat yang sekarang menjadi kawasan Gambir.
Stasiun Gambir pada mulanya dianggap sebagai perhentian kereta api kecil (halte Koningsplein) yang diresmikan pada 16 September 1871, bersamaan dengan dibukanya ruas pertama jalur tersebut.
Perhentian ini sangat kecil dan sederhana. Stasiun itu terletak di perbatasan tenggara Koningsplein. Perhentian ini merupakan perhentian paling selatan Batavia sampai 1873, ketika jalur itu diperpanjang hingga Meester Cornelis dan Buitenzorg.
Pemberhentian ini kemudian digantikan oleh Stasiun Weltevreden yang lebih permanen dan lebih besar, dibuka pada 4 Oktober 1884 di mana Stasiun Gambir sekarang berada. Hingga tahun 1906, stasiun ini merupakan stasiun pemberangkatan tujuan Bandung dan Surabaya.
Bangunan stasiun memiliki atap yang ditopang bantalan besi tuang sesuai dengan desain Staatsspoorwegen (SS), menurut pernyataan pada tahun 1881.
Stasiun ini dirancang dengan gaya neoklasik yang populer pada abad ke-19. Sampai saat itu NIS belum memasang atap jenis ini, sedangkan SS sudah memasangnya di beberapa tempat.
Pada tahun 1928 stasiun ini direnovasi dengan gaya Art Deco. Dan sembilan tahun kemudian, nama stasiun Weltevreden diubah menjadi Stasiun Batavia Koningsplein. Dan setelah kemerdekaan Indonesia namanya diubah menjadi Stasiun Jakarta Gambir.
Stasiun ini tidak berubah bentuk setelah kemerdekaan Indonesia hingga 1971 karena diperpanjang secara signifikan pada tahun yang sama.
Stasiun Layang
Februari 1988, bersamaan pembangunan rel kereta api layang Jakarta Kota–Manggarai, stasiun tua bergaya Art Deco era Hindia Belanda dibongkar dan diganti dengan gedung baru yang masih berdiri hingga sekarang.
Tanggal 5 Juni 1992, alm Presiden Soeharto bersama almh Ibu Negara, Ny Siti Hartinah dan pejabat pemerintah meresmikan Stasiun Gambir yang baru dengan menaiki KRL dari Stasiun Gambir ke Stasiun Jakarta Kota.
Terdapat 4 jalur di Stasiun Gambir ketika menjadi jalur layang, dan bangunan stasiun benar-benar modern dengan gaya arsitektur joglo dengan fasad keramik hijau limau.
Warna catnya tidak berubah, hanya tiang-tiang peron yang dicat ulang menjadi hijau lumut. Proyek ini telah menghabiskan Rp432,5 miliar dan belum selesai sepenuhnya saat diresmikan, sehingga baru bisa beroperasi penuh setahun kemudian.
Setelah pembangunan stasiun layang selesai, rel kereta api di bawahnya mulai dihilangkan dan area yang semula merupakan emplasemen Stasiun Gambir lama berubah menjadi tempat parkir mobil mulai tahun 1994.
Berdasarkan masterplan yang dibuat Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, stasiun ini direncanakan hanya melayani KRL Commuterline. Rencana induk muncul kembali ketika Stasiun Manggarai rencananya akan digunakan sebagai pemberhentian terakhir KA penumpang non-KRL.
Tujuannya, mengurangi kepadatan antrean KA penumpang di KA Elevated yang terkadang mengganggu perjalanan KRL Commuterline. Akibat rencana tersebut, Kementerian Perhubungan memutuskan untuk memisahkan jalur non-KRL dan KRL Commuterline setelah pembangunan stasiun selesai.
Dengan kelengkapan dari pembangunan Stasiun Manggarai sebagai stasiun pusat, semua KA penumpang jarak jauh/menengah yang berakhir di Stasiun Gambir akan dipindahkan ke Stasiun Manggarai pada 2025.
Demikian sejarah Stasiun Gambir yang menjadi andalan bagi para pemudik menuju kampung halaman saat Idul Fitri. Termasuk Lebaran tahun ini. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"