KONTEKS.CO.ID – Penolakan Wali Kota Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Cilegon Sanuji Pentamarta terhadap pembangunan gereja di wilayahnya mendapat reaksi keras dari sejumlah pihak.
Awalnya, penolakan tersebut berawal ketika sejumlah orang yang menamakan diri Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon, menolak pembangunan rumah ibadah Gereja HKBP Maranatha di Lingkungan Cikuasa, Kelurahan Geram, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon, Banten.
Sementara, Helldy Agustian dan Sanuji Pentamarta ikut menandatangani penolakan tersebut.
Merespons hal itu, Direktur Eksekutif Maarif Institute, Abd Rohim Ghazali, menilai, sikap yang ditunjukkan Helldy dan Sanuji merupakan pelanggaran serius terhadap konstitusi.
“Apakah tidak sadar bahwa apa yang Bapak berdua lakukan itu merupakan pelanggaran serius terhadap konstitusi, yakni Pasal 29 Ayat (2) UUD RI yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu,” dalam keterangan pers, Sabtu, 10 September 2022.
Dikatakan Rohim, penolakan pendirian tempat ibadah yang dilakukan oleh pejabat negara merupakan tindakan yang sengaja menghalangi-halangi warga negara untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan yang dianut.
Menurut Rohim, keberadaan rumah ibadah merupakan keniscayaan dalam setiap proses peribadatan bagi setiap pemeluk agama. Penghalangan pendirian rumah ibadah juga sama artinya dengan menghalangi warga negara untuk beribadah.
“Kalau penolakan itu dilakukan oleh waga negara, anggota masyarakat biasa, barangkali bisa disebut sebagai bentuk aspirasi, atau hak untuk berekspresi, walau ini pun perlu dipertanyakan, karena menghalangi pendirian tempat ibadah dan atau menghalangi orang lain untuk beribadah adalah bentuk perampasan terhadap hak asasi orang lain,” jelas Rohim.
Selain melanggar konstitusi, Helldy Agustian dan Sanuji Pentamarta juga dinilai melanggar Undang-Undang No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 334 Ayat (2) poin (g) mengenai asas penyelenggaraan pelayanan publik, yakni persamaan perlakuan/tidak diskriminatif.
Berdasar data yang dari Maarif Institute, secara demografis terdapat lima agama yang dianut oleh masyarakat Kota Cilegon, yakni Islam sebesar 97 persen, Protestan 0,84 persen, Katolik 0,77 persen, Hindu 0,26 persen, dan Buddha 0,16 persen. Dari kelima agama itu, tak ada satu pun rumah ibadah selain untuk pemeluk agama Islam.
“Jumlah masjid 381, musala 387, sementara Gereja Protestan, Katolik, Pura, dan Wihara jumlahnya nihil alias zero!” ujar Rohim.
Apa pun alasannya, tegas Rohim, menghalangi pembangunan rumah ibadah merupakan tindakan diskriminatif dan membuktikkan bahwa toleransi beragama yang setiap saat dipidatokan dengan penuh semangat dan anti diskriminasi yang selalu menghiasi orasi, semuanya omong kosong belaka.
“Di Kota Cilegon, Provinsi Banten, yang bapak berdua pimpin, omong kosong itu begitu nyata adanya,” tegas Rohim.
Maarif Institute juga menyebut bahwa pernyataan ini tidak bermaksud untuk mendiskreditkan atau mengecam, tapi sebagai bentuk nasihat terhadap sesama Muslim.
Maarif Institute juga menganjurkan agar Helldy Agustian dan Sanuji Pentamarta menaati konstitusi dan undang-undang serta memberi kebebasan kepada warga negara yang berada di wilayah Cilegon untuk memeluk agama dan beribadah sesuai perintah agamanya masing-masing.
“Jangan bertindak diskriminatif, memperhatikan dan memenuhi kebutuhan suatu kelompok penganut agama, dan mengabaikan kebutuhan kelompok penganut agama yang lain. Jadilah negarawan sejati yang senantiasa berpikir, berkata, dan bertindak untuk kepentingan semua warga negara,” ujar Rohim.
“Dengan menunjukkan sikap sebagai negarawan, niscaya Bapak bedua akan dicatat sebagai pemimpin yang layak menjadi teladan,” pungkasnya.
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"