KONTEKS.CO.ID – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan adanya peningkatan rata-rata suhu pada tahun 2023 sebesar 1,45 derajat Celcius.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati menjelaskan, terdapat beberapa dampak variabilitas dan perubahan iklim yang sering terasa pada sumber daya air terkait peningkatan suhu tersebut.
Menurut Dwikorita, dinamika siklus air dan interaksinya dengan manusia akan mengakibatkan bervariasinya pola spatio temporal hingga menyebabkan terjadinya peningkatan suhu.
Dwikorita menjelaskan hal itu dalam Konferensi Pers Road to 10th World Water Forum, di Jakarta, pada Senin, 1 April 2024.
“Spatio itu dalam konteks ruang, temporap dalam konteks waktu. Jadi, dampak dari variasi dan perubahan iklim ini akan berdampak pada variasi pola spatio temporal ketersediaan sumber daya air,” jelas Dwikorita.
Dampak lainnya, dapat mengakibatkan kejadian ekstrem dan sudah terjadi berkali kali. Tak hanya di Indonesia tapi hampir merata di seluruh dunia.
“Kejadian ekstrem yang berhubungan dengan sumber daya air tentunya sangat mempengaruhi kehidupan pembangunan dan berkelanjutan ekosistem baik masyarakat secara komunitas maupun individu,” ungkapnya.
Menurut laporan World Meteorological Organization (WMO), rata-rata suhu pada tahun 2023 meningkat sebesar 1,45 derajat celcius dibandingkan dengan era praindustri atau sekitar tahun 1850-1900.
Padahal, sesuai kesepakatan Paris tidak boleh lebih dari 1,5 derajat Celcius untuk akhir abad.
“Nah, ini baru akhir tahun 2023. Betapa kita ini sudah sangat dekat batas dari kesepakatan tadi. Tahun lalu (2022) itu masih 1,2 derajat celcius,” ujarnya.
“Kita melihat kejadian ekstrem sudah semakin sering, intensitasnya semakin menguat dan durasinya semakin panjang,” jelasnya.
Dwikorita berpandangan, ini sangat berhubungan erat dengan meningkatnya intensitas kegiatan industri yang menghasilkan gas-gas rumah kaca.
“Jadi, gas-gas rumah kaca itu antara lain CO2 itu yang berperan menaikkan suhu,” ujarnya.
Sebabnya, gas-gas tersebut terselubung di atmosfer hingga menghambat pelepasan pantulan sinar matahari dari permukaan bumi untuk kembali ke angkasa luar.
“Sehingga suhu matahari itu terjebak di dalam atmosfer dan itulah yang mengakibatkan kenaikan suhu yang semakin melompat,” katanya.
Pada tahun 2023, tambah Dwikorita, setiap bulan antara Juni dan Desember di tahun tersebut selalu mencetak rekor suhu permukaan baru.
“Artinya, zaman sebelumnya itu tidak pernah mengalami suhu setinggi itu. Tapi setiap bulan dari Juni rekor tertinggi. Juli lebih tinggi lagi, Agustus lebih tinggi lagi. Desember lebih tinggi lagi dibandingkan dengan bulan/bulan Juni, Juli, Agustus sampai Desember tahun tahun sebelumnya,” terangnya.
“Tercatat, di bulan Juni dan Agustus 2023 adalah dua bulan terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah pencatatan suhu permukaan tersebut,” pungkasnya.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"