KONTEKS.CO.ID – Ruud Gullit adalah nama yang mengisi setiap sudut lapangan dan halaman koran di era 1980-1990an. Pencinta sepak bola bahnya menyebutnya sebagai pemain super komplit yang pernah ada. Dari enam klub yang ia bela, Gullit selalu berhasil memberikan kenangan indah.
Pesepakbula yang konon memiliki darah Maluku dari kakeknya ini bisa menempati berbagai posisi di lapangan hijau. Kendati kerap berada di lini tengah, Ruud Gullit juga bisa sedikit mundur ke belakang untuk membantu peran para pemain bertahan. Ketika tim membutuhkannya dalam hal menyerang, itu jelas menjadi santapan favoritnya.
Ruud Gullit memiliki kekuatan fisik yang amat menakjubkan. Meski bertubuh besar, ia punya keseimbangan tubuh yang sangat baik. Kemampuan heading-nya pun tak diragukan karena sejumlah gol ia lesakkan melalui sundulan kepala.
Ketika tengah menguasai bola, Gullit tak segan untuk membuat lawan ‘menderita’. Persis seperti ucapan legenda Manchester United George Best, Gullit tahu betul apa yang harus dilakukan dengan bola.
Pria kelahiran Amsterdam, 1 September 1962 ini tak pernah takut untuk memainkan si kulit bundar, bahkan dalam posisi tertekan sekalipun.
Pendek kata, sosok berjuluk bunga tulip hitam ini telah menyebarkan aroma sedap di seluruh Eropa hingga dunia melalui skill sepak bolanya. Namanya bahkan disejajarkan dengan sang dewa sepak bola kala itu, Diego Armando Maradona.
Ruud Gullit, Generasi Kedua Imigran Suriname
Ruud Gullit, juga kompatriotnya Frank Rijkaard, sama-sama mempunyai ayah yang berasal dari Suriname, negara bekas jajahan belanda. Bahkan ayah Ruud dan Rijkaard bermigrasi ke Belanda secara bersamaan.
Ayah Ruud Gullit, George, juga pernah menjadi striker hebat di klub Transvaal. Sementara ayah Frank Rijkaard, Herman, mengawali karier profesionalnya di klub Robin Hood. Kedua klub tersebut adalah dua klub papan atas Suriname.
Namun setelah mendarat di Belanda, George dan Herman mengambil jalan berbeda. Herman masih menekuni dunia sepak bola, sedangkan George memilih untuk fokus menempuh pendidikan formal di sebuah universitas terkemuka di Amsterdam. Di sana ia belajar ekonomi dan akhirnya menjadi guru di bidang ilmu yang sama.
Selain sama-sama pernah menjadi pemain sepak bola di negara asalnya, ada beberapa lagi kesamaan George dan Herman. Pertama, putra mereka sama-sama lahir dari rahim seorang ibu asli Belanda. Ruud dan Rijkaard juga lahir bersamaan di September 1962, dan kemudian sama-sama menjadi pesepakbola terkenal di dunia.
Dalam wawancara dengan These Football Themes, Ruud mengaku ayahnya adalah bagian dari generasi kulit hitam pertama yang datang dari Suriname ke Belanda. Jadi, di sekolah, ia adalah salah satu dari sedikit anak kulit hitam.
Sedangkan di klub sepak bolanya saat kecil, Ruud pun menjadi satu-satunya pemain berkulit hitam di tim.
“Satu-satunya hal yang saya pikirkan adalah ‘lihat, saya berdiri di sini, jadi saya harus tampil baik karena mereka akan melihat saya’. Jika ada satu anak laki-laki dalam tim, mereka akan melihat anak laki-laki tersebut dan Anda harus menjadi baik. Jadi saya tahu saya diperhatikan dan perlu melakukan lebih,” ujar Gullit.
Bakat Alami Mengantarkan Gullit Berpindah Klub
Sedari kecil Ruud Gullit suka bermain sepak bola. Pria yang sejak kecil hingga remaja memakai nama lahir Rudi Dil ini bermain bola hampir setiap hari. tidak peduli di lapangan berumput atau jalan raya, di mana saja, kapan saja, ia bermain sepak bola.
Setiap kali bermain, ia akan selalu berupaya main bagus. Ruudtje, begitu sapaan akrabnya, mahir menguasai si kulit bundar dan tahu betul bagaimana cara memanfaatkan bakat alaminya.
Ia sendiri tidak menyangka banyak orang yang kemudian menyukai dan mengidolakannya. “Semua terjadi begitu saja”, katanya.
Saat berusia lima tahun, tepatnya tahun 1967, bakat ajaibnya yang kelewat andal itu membawanya bergabung dengan klub Meerboys. Ia kemudian pindah ke HFC Haarlem dan masuk ke skuad utama pada 1979. Saat itu ia baru berusia 16 tahun.
Tiga tahun kemudian Ruud masuk ke Timnas Belanda. Kehebatannya pun tercium oleh sejumlah klub raksasa Belanda yang kemudian ‘menggilir’ jasanya seperti Feyenoord dan PSV Eindhoven.
Pada 1982 Ruud bergabung dengan Feyenoord dan berkembang bersama tim idolanya sejak kecil. Tiga tahun kemdian ia pindah ke PSV Eindhoven dan menjadi sosok yang lebih fenomenal lagi. Selama dua tahun di PSV Eindhoven, Gullit selalu tampil cerdas, cepat, kuat, berani, terampil, dan juga tak kena lelah.
Dari enam kali berpindah klub, puncak penampilan Ruud tentu bersama AC Milan. Bersama Frank Rijkaard dan Marco van Basten di AC Milan, trio maut itu meraih segalanya: popularitas maupun gelar. Sayangnya, cedera lutut membuatnya harus tersingkir dan pindah ke Sampdoria. Ia kemudian pindah lagi ke Chelsea di pengujung karier profesionalnya.
Dari Trofi ke Trofi
Tidak sekadar bermain bagus, Ruud Gullit adalah contoh pesepakbola yang selalu bisa memberikan kenangan manis berupa piala di setiap klub yang dibelanya, kecuali di HFC Harleem.
Meski tidak meberikan gelar apapun di Harleem, sumbangsih besar Gullit adalah membawa klub itu mampu bersaing dengan klub Belanda lainnya. Harleem bahkan terhindar dari degradasi. Dari 91 kali penampilannya bersama Harleem, Gullit bisa melesakkan 32 gol. Jumlah yang tinggi untuk seorang pemain tengah.
Tiga tahun bermain untuk Feyenoord, Gullit sukses memboyong gelar juara Eredivisie di musim 1983-1984 serta juara Piala Belanda pada 1984. Pun di PSV Eindhoven, Ruud sukses mempersembahkan dua gelar Eredivisie dua musim beruntun sekaligus pemain terbaik di Belanda dan di Eropa.
Merasa kariernya bakal mentok jika tetap di Belanda, Gullit pun mencari tantangan baru di saat banyak klub Eropa yang memang tergiur kepadanya.
Pilihannya jatuh ke klub Italia AC Milan. Dari sinilah popularitasnya kinclong sebagai pemain paling fenomenal di dunia. Ruud tiba di kota mode itu pada 1987 dengan mahar 7 juta Poundsterling sekaligus memecahkan rekor tranfer pemain di tahun itu.
Pemilik AC Milan yang kemuidian menjadi PM Italia, Silvio Berlusconi, dengan enteng menyebut kehadiran Gullit akan segera mengubah sejarah AC Milan. Benar saja, di musim pertamanya di klub, Gullit berhasil memenangkan gelar Seri A.
Lebih mencengangkan lagi, ia berhasil menggondol penghargaan Ballon d’Or (pemain terbaik dunia) pada 1987 dan diulanginya pada 1989. Padahal di tahun sebelumnya Ruud cuma menempati posisi ke-17. Hebatnya, Gullit mengungguli nama-nama besar seperti Paulo futre yang baru saja membawa FC Porto meraih gelar Liga Champions Eropa. Pemain legendaris Real Madrid Emilio Butragueno pun terlibas meski berhasil membawa klubnya menjuarai La Liga.
Setahun setelahnya, Gullit juga menjadi aktor kunci keberhasilan timnas Belanda di ajang Euro 1988. Bersama dengan Marco van Basten dan Frank Rijkaard, Gullit memboyong trofi internasional pertama dan satu-satunya hingga sekarang buat timnas Belanda.
Mengerek dan Dibuang Tim Terbaik Dunia
Kegemilangan Gullit terus berlanjut. Total ia mengoleksi tujuh trofi bersama AC Milan. Di Seri A, Milan menjadi kampiun tiga kali di musim 1987-1988, 1991-1992, dan 1992-1993.
Sementara di level Eropa, gelar Champions Eropa musim 1988-1989 dan 1989-1990 dan satu Piala Super Eropa ia bawa ke lemari piala AC Milan. Gullit membawa AC Milan menguasai Eropa untuk pertama kalinya setelah 20 tahun lamanya. Di tahun yang sama ia juga membawa AC Milan ke titik tertinggi menjadi klub terbaik dunia setelah menjuarai Piala Toyota.
Sayangnya, tepat pada tahun 1993 AC Milan medlepas Gullit ke Sampdoria. Beredar kabar bahwa Milan memutuskan untuk melepas Gullit karena sang bintang sering terkena cedera. Tapi ada pula rumor hengkangnya Gullit tak lepas dari konfliknya dengan Fabio capello dan kaptem tim Franco Baresi.
Alasan kedua tampak lebih logis. Terbukti, ketika pindah satu musim ke Sampdoria, Gullit bisa bermain di 63 pertandingan dan mencetak 26 gol. Selain mempersembahkan trofi Copa Italia, Gullit seperti membuktikan bahwa ia benar-benar menaklukkan Italia.
Pada musim panas 1995 Gullit akhirnya benar-benar meninggalkan Italia dan terbang ke
London untuk menerima tawaran Chelsea. Bersama the blues, Gullit memainkan peran yang sangat krusial.
Ia bahkan berujar bahwa tiga tahun bersama Chelsea merupakan salah satu momen terbaiknya sepanjang karier. Musababnya, ia berhasil membuat Chelsea jadi klub yang sedikit lebih maju setelah sebelumnya sangat tidak akrab dengan dengan gelar juara.
Kedatangan ke Chelsea, lagi-lagi, sukses membawa trofi Piala FA tahun 1997. Saat itu ia berperan sebagai pemain sekaligus manajer tim. “Momen favoritku adalah memenangi Piala FA. Memenangi Liga Champions untuk pertama kalinya bersama AC Milan sungguh luar biasa, tetapi jujur itu setara dengan keberhasilan menjuarai Piala FA,” tuturnya.
Pemikir Berpendirian Teguh, Kerap Terlibat Konflik
Sebagai pesepakbola Gullit memang pemain spesial. Ia adalah tipe pemain pemikir. Dalam satu kesempatan Gullit pernah mengusulkan pergantian pemain bisa hingga tujuh orang. Cuma, dalam 15 menit terakhir hanya boleh ada satu kali pergantian pemain.
Karena teguh meyakini pemikirannya, Gullit kerap terlibat konflik dengan orang-orang terdekatnya. Di AC Milan, sejak Capello melatih Milan, Gullit dan Capello kabarnya tidak pernah bertatapan muka.
Begitu pula di Chelsea. Meski menjadi pintu terbukanya kesuksesan Chelsea, Gullit harus menerima kenyataan pahit dipecat oleh manajemen usai terlibat konflik dengan Ken Bates.
Di timnas Belanda ia juga terlibat cekcok dengan pelatih Dick Advocaat yang membuatnya menuatakan mundur dari timnas selama masih dilatih Advocaat. Meskipun setahun kemudian Gullit kembali membela de Oranje, ia kembali minggalkan timnas dan tak pdernah memakai seragam oranye lagi.
Tatkala pensiun sebagai pemain pada 1998, Gullit memulai karier sebagai pelatih. Sejumlah klub seperti Chelsea, Newcastle United, Fayenoord, LA Galaxy, hingga Terek Grozny merasakan sentuhan kepelatihan Gullit.
Tetapi ketika menjadi manajer Newcastle United, Gullit kembali berkonflik. Kali ini ia berseteru dengan striker kesayangan fans Newcastle, Alan Shearer.
Gullit juga pernah menjadi asisten pelatih timnas Belanda pada 2017.
Kini, bapak enam anak dari tiga perempuan ini mengisi harinya dengan menjadi analis sepak bola. Ia pernah bekerja untuk ESPN, BBC, Sky Sports, hingga Aljazeera Sports. Kini ia masih bergabung dengan Bein Sport sejak gelaran piala dunia 2022. Gullit melanjutkan tugasnya sebagai analis sepak bola di ajang Liga Champions Eropa musim 2022-2023.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"